Halaman

Senin, 07 Januari 2013

FAKTOR PSI


. Fase Ekspansi
Dalam fase ekspansi ini kehadiran telah cukup banyak mendapat perhatian dan telah para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih dinegeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. .

Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q Fatimi dan G.E Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay-Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa islam di Indonesia bermula dari Pantai Coromandel. Sebab menurutnya pada masa Islamisasi kerajaan samudera dimana raja pertamanya (Malik Al-saleh) wafat tahun 1297 M.

Saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari sana tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang ditempat itu.

Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain dikemukakan oleh T.W Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, Bahwa ternyata dipesisir pantai Sumatera telah ada komunitas Muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan local. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M.

2. Fase Disintregasi
Jika menengok sejarah agama-agama, dengan mudah akan dapat diketemukan fakta yang menunjukkan bahwa banyak agama mengalami persebaran hingga keluar jauh dari wilayah asal pertumbuhannya. Bahkan tak jarang, suatu agama justru dapat berkembang dengan jumlah pengikut yang lebih besar di wilayah lain di luar wilayah asalnya. Proses persebaran ini, dapat mengambil pola-pola sebagai berikut:

Pertama, ekspansi, baik melalui kontak langsung maupun hirarkis ; Kedua, pola relokasi. Bersamaan dengan aliran persebaran tersebut, terjadilah proses perubahan dari segi pemahaman maupun praktek yang menunjukkan perbedaan karena faktor lokalitas dan tokohnya. Artinya, banyak agama mengalami perubahan dari aslinya ketika berkembang di wilayah lain. Faktor budaya dan kebiasaan lokal kerap memberi pengaruh terhadap bentuk kepercayaan dan perilaku keberagamaan sehingga muncul fenomena aliran-aliran. Fenomena ini tak terkecuali berlangsung juga dalam tradisi dan komunitas muslim.
FAKTOR-FAKTOR KEMAJUAN ISLAM
Semua capaian-capain diatas secara tidak langsung menjadi faktor awal berkembangannya Ilmu pengetahuan dan Filsafat. Adapun faktor-faktor Yang Mendorong Kebangkitan Filsafat Dan Sains yang lain adalah :
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
Berkat keberhasilan penyebaran Islam keberbagai wilayah yang baru, Islam bertemu dengan berbagai kebudayaan baru yang memiliki khazanah pengetahuan yang baru pula dan ini bertemu dengan semangat Umat Islam yang terdorong ajaran agamanya untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari manapun.
2. Pluralistik dalam pemerintahan dan politik
Untuk mengokohkan dinastinya, al-Mansur mengambil strategi yang berbeda dengan Dinasti Umayyah. Dinasti Abbasiyah sangat berbeda Dinasti Umayyah yang sangat bercorak ke Araban. Beberapa hal yang dilakukan oleh al-Mansur antara lain dengan memasukkan orang-orang Persia dalam struktur pemerintahan, seperti menerapkan sistem administrasi pemerintahan Persia dan mengangkat Khalid bin Barmak sebagai wazir-yang kemudian menjadi salah satu tokoh dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Bani Abbas-, menjadi guru bagi Harun al-Rasyid bahkan dia mengawini perempuan Persia dan memiliki keturunan khalifah yang mempunyai perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Konsep konsep pemerintahan ala Persia juga diadopsi beberapa khalifah Abbasiyah dengan cara melakukan kawin silang dengan wanita – wanita Persia (shi’i). Perkawinan ini melahirkan khalifah baru, salah satunya adalah al-Makmun. Pada masa ini pula tata pemerintahan Islam tak lagi menjadi monopoli orang arab. Dinasti abbasiyah membuka ruang yang luas bagi orang di luar Arab, yang ahli di bidangnya, duduk di pemerintahan. Ini terbukti dengan masuknya orang – orang Turki dan Persia.
3. Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi dan Politik
Harun al-Rasyid memanfaatkan kemajuan perekonomian untuk pembangunan di sektor Sosial dan Pendidikan. Seperti pengadaan sarana belajar bagi masyarakat umum. Penyediaan infrastruktur yang dilakukan oleh Harun al-Rasyid pada akhirnya dilanjutkan oleh al-Ma’mun, khususnya dalam bidang pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, kehidupan intelektual serta kebudayaan.
4. Gerakan Penterjemahan
Gerakan ini berlangsung dalam 3 (tiga) fase. Fase pertama, pada masa al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Karya-karya yang diterjemahkan mulai meluas dalam semua bidang keilmuan.
Manuskrip yang berbahasa Yunani diterjemahkan dahulu ke dalam bahasa Siriac-Bahasa Ilmu pengetahuan di Mesopotamia-kemudian diterjemahkan kedalam bahasa arab.
Para penterjemah yang terkenal pada masa itu, antara lain :
a) Hunain ibn Ishaq, ilmuwan yang mahir berbahasa arab dan yunani. Menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 20 buku dalam Bahasa Arab.
b) Ishaq ibn Hunain ibn Ishaq
c) Tsabit bin Qurra
d) Qusta bi Luqa
e) Abu Bishr Matta ibn Yunus
Semua penterjemah ini, kecuali Tsabit ibn Qurra yang menyembah bintang, adalah penganut agama kristen.
5. Berdirinya perpusatakaan-perpustakaan dan menjadi pusat penterjemahan dan kajian ilmu pengetahuan
Al-Ma’mun yang berpaham mu’tazilah, sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga kebijakan dibidang ilmu pengetahuan sangat menonjol yang mengakibatkan gairah intelektual mendapatkan wadah. Ia mendirikan Baitul Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan, akademi, pusat penterjemahan dan lembaga penelitian. Bahkan dilingkungan istana juga didirikan perpustakaan pribadi khalifah yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan bagi keluarga istana dan terhimpun didalamnya para ilmuwan, ulama dan para pujangga.
Jadi di zaman inilah daerah Islam meluas yang akhirnya ilmu pengetahuan berkembang dan memuncak baik dalam bidang agama, non agama dan kebudayaan Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hanbal dalam bidang hokum. Dalam bidang teologi : Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn Ata’, Abu al-Huzail, al-Nazzam, dan al-Jubba’i. sedangkan dalam tasawuf atau mistisisme : Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Dalam bidang filsafat : al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Maskawaih. Dalam bidang ilmu pengetahuan : Ibn al-Haysam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi.
FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN ISLAM
Kemajuan-kemajaun yang telah berabad-abad lamanya dibangun, runtuh begitu mudahnya disebabkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggung jawab.
Factor kemunduran islam terbagi kepada dua factor :
1. Faktor internal
· Keruntuhan islam sering disebabkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggungjawab.
· Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengincar kekuasaan.
· Kemungkinan terjadinya desentralisasi dan pembagian kekuasaan didaerah-daerah.
· Menerapkan pajak berlebihan menjadi kebijakan favorit yang dibebankan kepada semua rakyat, tak terkecuali.
· Garis perpecahan antara arab dan non arab, muslim arab dan muslim non arab, antara muslim dengan kaum dzimmi.
· Menurunnya stabilitas keamanan dan bangunan yang tidak terperhatikan sehingga sering terjadi banjir yang membawa malapetaka.
· Banyaknya orang kelaparan yang tidak diperhatikan
· Wabah penyakit sering muncul seperti cacar, pes, malaria dan sejenis demam lainnya.
· Serangan al-Ghazali (w. 1111) terhadap para filosuf dan ilmuwan, yang menyerang rasionalisme dan mengajukan tasawuf sebagai alternative yang paling mungkin untuk menjadi jalan hidup dan penemuan kebenaran agama. Al-Ghazali sangat berpengaruh di dunia Islam, sunni khususnya, sehingga mengakibatkan minat orang terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan menjadi lemah.

Factor eksternal
Penyebab eksternal sebagaimana berikut :
· Pengaruh negative dari aliran-aliran alam pikiran Islam periode sebelumnya
· Pengaruh perang bumi hangus yang dilancarkan oleh bangsa Tartar dari Timur dan serangan Tentara Salib Nasrani dari Barat.
Pada prinsipnya, pembaru Islam adalah orang yang memikirkan dan menyikapi fenomena kehidupan, agar umat terbebas dari belenggu sistem yang stagnan menuju kemajuan (modern) dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan mereka untuk membebaskan dan memajukan umat ini pun sangat heterogen, ada yang akomodatif, provokatif, dan radikal.

Munculnya para pemikir dan pembaru seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil-Wahab (1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), yang kemudian melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam, nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkem­bang pada Zaman Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman Pertengahan Islam (1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana ting­ginya kedudukan akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits.
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik.
Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang J sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.[1]
Sejak abad kesembilan belas inikembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath ‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[2]
Sikap Umat Islam dalam Menghadapi Modernisasi
Jika kita teliti lebih cermat secara global, dalam kaitannya dengan sikap yang dimunculkan untuk menghadapi modernisasi, di kalangan umat Islam Indonesia terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada: tradisionalis-konservatif, radikal-puritan (fundamentalis), reformis-modernis, dan sekuler-liberal.
Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang menentang kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktekkan di kawasan-kawasan tertentu. Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual yang diperaktekkan oleh beberapa ulama’ salaf. Para pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan kelas bawah.[52]
Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga menafsirkan Islam berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer, tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi modernis untuk membaratkan Islam.[53] Kelompok ini melakukan pendekatan konsevatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi).[54]
Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis,[55] meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan Agama sebagai doktrin politik dalam kehidupan bermasyarakat.[56]
Bagi kelompok radikal-puritan ini, syari’ah memang fleksibel dan bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, tetapi penafsiran dan perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang murni. Maka mereka mengkritik gagasan-gagasan dan praktek-praktek kaum tradisional,[57] dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, adalah tokoh intelektual pemikiran fundamentalis.[58]
Sebuah gerakan pemikiran bercorak radikal-puritan ini pernah muncul pada abad ke-18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al Wahhab (1703-1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Taymiyyah,[59] dalam memahami al Qur’an secara literal.[60]
Gerakan Wahhabiyyah adalah gerakan yang muncul pada saat terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam murni, memberantas segala bentuk peraktek yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam,[61] mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-intelektualisme, teturama filsafat.[62]
Gerakan lain yang bercorak semacam ini adalah Jama’at Islam di Pakistan dengan tokohnya Abu A’la al-Maudûdî (1903-1979), Ikhwanul Muslimin di Mesir, dengan tokonya Hassan al-Banna dan Seyyed Qutb (1906-1966).[63] dan Muhammadiyyah di Indonesia, dengan tokohnya K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923),[64] meskipun pada akhirnya, kelompok yang disebut terakhir ini cenderung menjadi kelompok yang reformis-modernis.
Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah karena kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden.[65] Wahhabiyyah, muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.[66] Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokohnya, muncul pada abad sebelum modern (pre-modern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk primitif.
Dalam penelitian yang diadakan di Mesir menyebutkan bahwa kaum militan fundamentalis adalah para penduduk asli dan tinggal di wilayah urban hanya dalam beberapa waktu.[67]
Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum rural dan menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak mampu menghadapi realitas yang disekitarnya.[68] Muhammadiyyah, didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.[69]
Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi. Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktek tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al Qur’an dan al Sunnah (purifikasi Agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer. [70]
Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal.[71] Atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.[72]
Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai dengan kebutuhan modern.[73]
Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.[74]
Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern.[75] Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazilah,[76] karena pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola berpikirnya kelompok ini.
Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok modernis mencoba untuk mempersatukannya.[77]
Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), M. Abduh (1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India.[78]
Yang memebedakan kelompok ini dengan gerakan revivalisme adalah bahwa yang pertama lebih banyak terjun di dunia intelektual, sementara yang ke dua terjun di dunia politik, doktrin.[79]
Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau membatasi segala urusan Agama dan ritual kepada personal dan menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan publik. Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.[80]
Meskipun komunitas Islam di dunia ini sangat beragam, di sana hanya ada satu Islam, yang beragam hanya bentuk interpretasi dari masing-masing pemeluknya terhadap ajaran Islam itu. Sifat tradisional dari sebuah Agama adalah bahwa ia dimanifestasikan dalam kecenderungannya kepada Yang Maha Kuasa, yang didasarkan pada kesatuan tentang Yang Maha Suci, dan memandang Yang Maha Kuasa sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah dari masa lampau hingga sekarang.
Sesungguhnya yang menjadi perdebatan di antara beberapa kelompok di atas bukanlah tentang pokok-pokok ajaran Agama itu sendiri (great tradition), akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial (little tradition).[81]
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,[82] bahwa kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial dan politik, begitu juga dengan yang berkembang di masa berikutnya, tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.
Di samping alasan di atas, ada alasan lain yang menjadi kemelut di antara orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yaitu pemahaman yang berbeda di antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas (model of reality) ataukah model untuk sebuah realitas (models for reality).
Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.[83]
Dalam kajian modern tentang sejarah umat Islam ditemukan bahwa, meskipun berdasarkan pada Agama yang sama, para pemeluk Agama ini memiliki pemahaman yang berbeda, dan seringkali perbedaan itu memicu persaingan dan konflik, di dalam menghadapi tantangan modernitas.[84]
Di Indonesia, terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis.[85] Namun  dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.[86] Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.[87]
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.[88]
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[89] Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.
Terlepas dari perdebatan pendapat dalam masalah itu, yang jelas, kelompok tradisionalis, di Indonesia, biasanya bergabung dengan organisasi bernama NU,[90] sementara kelompok modernis, reformis, radikalis, puritan, dan fundamentalis, lebih memilih Muhammadiyyah sebagai organisasi keagamaannya.[91] Dari itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di Indonesia, seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama di atas.
Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,[92] tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[93]
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.[94]
Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkar, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.[95] Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.[96] Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan yang lain, yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyyah.
Secara rigkas, dalam Islam ada banyak ragam sikap dari gerakan-gerakan berbasis Agama dalam menyikapi modernisasi. Pertama, mereka yang menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap perubahan mendasar dalam struktur kehidupan sosial, yang diakibatkan oleh modernisasi. Kedua, yang mengikuti modernisasi tetapi menentang sekularisasi. Ketiga, yang melakukan penyesuaian terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen penyebar sekularisasi,[97] karena di antara karakteristik abad modern adalah munculnya sekularisasi terhadap sistem keagamaan tradisional.[98]
Kelompok yang disebut terakhir ini memiliki pandangan bahwa munculnya sebuah modernitas memaksa adanya sebuah perubahan. Dan Agama selalu menghadapi perubahan, sehingga memaksa terjadinya pengembangan beberapa mekanisme keagamaan yang sesuai dengan keadaan.[99]

TASAWUF


Sumber Pemikiran Kalam

Pemikiran Islam adalah suatu upaya ijtihadi seseorang atau sekelompok orang untuk menerjemahkan nilai-nilai universalitas Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan situasi zamannya.
  1. Pengertian dan Asal-Usul Ilmu Kalam
Secara Harfiyah, kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Di dalam lapangan pemikiran Islam, istilah kalam memiliki dua pengertian : pertama, Sabda Allah, dan kedua ‘Ilm al-kalam. Pengertian yang kedua ini lebih menunjukkan kepada teologi dogmatic dalam Islam, dan sekaligus merupakan inti pembahasan dalam tulisan sekarang ini.
Perkataan “kalam” sebenarnya merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi, khususnya bagi kaum muslimin. Secara harfiyah, perkataan kalam dapat ditemukan baik dalam Al-Qur’an maupum berbagai sumber lain.
      Para Ahli sering menggunakan ilmu kalam dengan istilah teologi islam. Istilah ini berasal dari sebutan orang-orang Barat untuk menyebut istrilah ilmu kalm dan perbedaannya dengan filsafat islam.
      Teologi berasal dari Yunani, yakni “theos” artinya Tuhan, dan “logos” artinya ilmu. Dengan demikian, teologi berarti ilmu tentang tuhanatau ilmu ketuhanan.
Misalnya : dalam kitab Jurmiyah, yang artinya “Kata-kata yang tersusun dengan sengaja untuk menunjukkan suatu maksud atau pengertian.”
Dalam Al-Qur’an, yakni :
1.      An-Nisa ayat 164, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung”
2.      Al-Baqarah ayat 75, “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar kalam Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
3.      At-taubah ayat 6, “Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah. Kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”
Sebutan itu (kalam), juga dipertegas oleh Nurcholis Majid, yang mengutip Ali Asy-Syabi bahwa antara istilah mantiq dan kalam secara histories ada hubungan. Keduanya memiliki kesamaan, lalu para Mutakalimin dan filsof mengganti istilah mantiq dengan kalam, karena keduanya memiliki makna yang sama.
Dari pengertian tersebut diperoleh gambaran bahwa ilmu kalam tiada lain adalah perdebatan teologis di antara umat Islam yang didasarkan atyas argumen logis-rasional, terutama dalam kalam ilahi yang dihubungkan dengan persoalan manusia seperti baik dan buruk, kebebasan berkehendak.
  Dengan mengutip Asyahrastani, Ali Asy-Syahbi mengatakan bahwa istilah kalam mula-mula muncul pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (813-833 M) dari daulah Abbasiyah dan diciptakan oleh kaum Mu’tazilah., Alasan utama penggunaan istilah kalam ini, boleh jadi karena masalah yang menonjol mereka perdebatkan yaitu tentang bicara sebagai salah satu sifat tuhan.[1][5]
Sering kali ilmu kalam dihubungkan dengan ilmu tauhid. Berkenaan dengan ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa keduanya tidak identik. Sekalipun secara substansial atau materi yang dibicarakannya adalah sama, tetapi dalam metode berbeda. Karena adanya pergesaran metode ini, nama ilmu kalam menjadi lebih popular. Metode ilmu kalam yang dimaksud, sebagaimana telah dikemikakan di atas adalah metode nasional yang di ambil dari logika filsafat. Atau menurut istilah Fazlur Rahman, metode yang dikembangkan Mutakallimin yaitu teologi dialektis.[1][6]
Berdasarkan asal-usul dan pengertian ilmu kalam sebagaiman yang tersebut di atas, dapat disimpulkan:
1.      Masalah perselisihan yang paling diperdebatkan antar golongan islam adalah masalah-masalah teologis, terutama menyangkut firman Allah
2.      Dasar ilmu kalam adalah dalil-dalil aqli sebagaimana yang tampak pada pembicaraan mutakallimin.
3.      Pembuktian tentang keyakinan-keyakinan agama menyerupai logika dalam filsafat. Oleh karena itu, penamaan ilmu kalam adalah untuk membedakan dengan logika dalam filsafat.
  1. Pemikiran Kalam Klasik
1.      Aliran Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti ‘keluar’, ditujukan bagi setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin maupun masa tabi’in secara baik-baik
2.      Aliran Mu’tazilah
Mu`tazilah sebagai aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri, yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dan dasar pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
3.      Aliran Asy’ariyah
Tokoh aliran ini Abu Hasan Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 M dan wafat tahun 935 M. Pada mulanya Al-Asy’ari adalah murid Al-Jubba’i salah seorang tokoh terkemuka aliran mu’tazilah.
Walaupun Al-Asy’ari telah berpuluhan tahun menganut paham mu’tazilah akhirnya ia meninggalkan aliran mu’tazilah dengan alasan:
a.             Al-asy’ari bermimpi, dalam mimpinya itu Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadits-lah yang benar, dan mazhab mu’tazilah salah.
b.            Al-Asy’ari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i, dan dalam perdebatannya itu Al-Jubba’i tak dapat menjawab tantangan Al-Asy’ari sebagai muridnya.
4.      Aliran Salafiyah
Aliran ini muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Ahmad bin Hambalyang kemudian pemikirannyadiformulasikan secara lebih lengkap oleh Ahmad Ibn Taymiyah.
5.         Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari bahasa arab yang berarti menunda atau dari kata raja’a yang berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut di atas, berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang pertama dimaksudkan berarti golongan atau paham yang menanggungkan keputusan sesuatu hal (mulanya persoalan yang berbuat dosa besar) nanti dikelak kemudian hari disisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalan adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mati sebelum bertobat).
6.         Aliran Syi’ah
Akar kata Syi’ah bermakna pihak, puak dan kelompok, yang diambil dari kata Syayya’a yang memiliki arti berpihak. Aliran ini menunjukkan pengikut Ali dalam hubungannya dengan peristiwa pergantian kekhalifahan setelah Rasulullah wafat.
Macam-macam Aliran Tasawuf
Orang yang pertama memberikan perhatian kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam tasawuf Islam itu adalah Fakhruddin Al Razi.
Secara garis besar, alam pemikiran tasawuf dalam Islam telah melahirkan tujuh aliran besar. Ketujuh aliran itu adalah :
1.    Aliran Ittihad
Zun Nun Almisry (245 H) adalah sufi yang pertama kalinya mengemukakan faham ma`rifah dalam tasawuf dan dalam perkembangannya. Menurut Zun Nun, bahwa ma`rifah yang hakiki adalah ma`rifah sifat wahdaniyyah yang bagi wali-wali Allah secara khusus karena mereka menyaksikan Allah dengan hati mereka, maka terbukalah bagi mereka apa-apa yang tidak terbuka bagi orang lainnya.[1]
Apa yang telah dirintis oleh Zun Nun itu dikembangkan lebih jauh oleh Abu Yazid Thaifur bin Isa Al Bistami (261 H). Abu Yazidlah orang pertama sekali secara terbuka mengemukakan ajran ittihad. Ittihad adalah kepercayaan bahwa khaliq (Allah) dapat bersatu dengan makhluk (manusia). Yakni hubungan yang terjadi antara zat makhluk dengan khaliq. Apabila terjadi hal ini maka makhluk akan berada dalam keadaan tak sadr diri, yang mereka namakan mahwu.[2]
2.    Aliran Hulul
Al-Hulul adalah kepercayaan bahwa Allah bersemayam di tubuh salah seorang, yang kiranya bersedia untuk itu, karena kemurnian jiwanya dan kesucian ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut akidah dan kepercayaan ini ialah Al-Hallaj.
Ajaran-ajaran Al-Hallaj tentang tasawuf tergambar dalam buah fikiran yang terpisah-pisah dan di dalam teori yang bersifat ekstrim. Menurut Abul Qasim Al Razi, Al Hallaj pernah menulis sebuah surat yang berbunyi : “ Dari yang maha pengasih lagi maha penyayang kepada fulan bin fulan”. Tatkala ditanya orang mengapa dia menulis dengan kata-kata tersebut, dia memeberikan jawban bahwa” Penulis itu hanya Allah sedang aku dan tanganku hanyalah alat belaka”.[3]
3.    Aliran Ittishal
Aliran tasawuf Ittishal dikemukakan oleh para filsuf Islam terutama Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan Ibnu Tufail.
Abu Nasr Muhammad Al-Farabi di dalam mengemukakan konsepsinya tentang tasawuf, tidak terlepas dari keahliannya sebagi filsuf. Tasawuf menurut Al-Farabi, bukan hanya membahas masalah amal untuk kebersihan jiwa, memerangi hawa nafsu, dan kelezatan badaniyah saja, tetapi juga harus melalui akal dan pemikiran itu sendiri.
Al-Farbi memandang tingkat ma`rifah manusia dalam tasawuf adalah berjenjang naik dan apabila manusia telah berada diatas jenjang Al-Aqlul Mustafad maka manusia mampu menerima nur ketuhanan, berhubungan langsung dengan Al-Aqlul Fa`al.di tingkat ini manusia tidak lagi berda dalam tingkat ijtihad tetapi telah berda dalam tingkat pemberian Tuhan hingga dapat berhubungan langsung dengan Tuhan(Ittishal).
Al-Farabi mengemukakan bahwa sentral segal sesuatu adalah akal, maka dalam tasawufnya ia berpendapat bahwa tujuan tasawuf terkhir adalah pencapaian sa`dah yang tertinggi dalam wujud kesempurnaan ittishal dengan Al Aqlu Fa`al.
Perkembangan akal dan peningkatannya tidak bisa lepas dari perkembangan jiwa, peningkatan dan pembersihannya.[4]


4.    Aliran Isyraq
Tokoh aliran Isyraq adalah Syihabuddin Yahya bin Hafash Suhraward. Sejak kecil ia telah belajar agamadan menghafal Al-Qur`an kemudian belajar di Maraghah berguru dengan Imam Mahyuddin Al Jilli, dilanjutkan dengan belajar kepada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan diteruskan dengan belajar kepada Al Mardini.
Suhrawardi meninggal dunia karena hukum bunuh yang dilaksanakan oleh Az-Zahir atas perintah Al-Ayyubi pada tahun 587 H/1191 M pada usia 83 tahun. Sebab jatuhnya hukuman bunuh itu karena penafsiran Suhrawardi terhadap berbagai hal tentang ketuhanan, kenabian dan sebagainya yang dianggap berbahaya kepada akidah kaum muslimin.
Suhrawardi mendasarkan teori filsafatnya kepada Isyraq. Kata Isyraq berasal dari bahasa Arab yang berarti timur. Secara etimologi mengandung maksud terbitnya matahari dengan sinar yang terang.
5.    Aliran Ahlul Malamah
Aliran Ahlul Malamah lahir di Nishapor pada bagian kedua abad ketiga hijriyah. Kata Al Malamah berasal dari kata laum yang artinya celaan. Ahlul Malamah adal sekumpulan orang yang mencela dan merendahkan diri mereka karena itulah tempat kesalahan-kesalahan.[5]
Ajaran kaum malamatiyah ini pada dasarnya ialah mencela diri sendiri, merendahkan dan menghinakannya didepan orang untuk melindungi keikhlasan dan kedekatan dirinya dengan Tuhan, menjaga kemurnian ketulusan dan menjauhkan diri dari kesombongan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain, Hamdun Al Qassar (m.271 H), Abu Utsman Al Hairi (m.289 H), Mahfudz Al Naisaburi (m.303 H), Abul Husein Al Warraq ( m.320 H), Abu Umar Al Zujaji (m.348 H), Abul Husein bin Bandar (m.350 H), Abul Hasan bin Sahal Al Busyanji (m.348 H), Abi Ya`kub Al Nahrajuri (m.330 H), dan Muhammad bin Ahmad Al Farra` (m.370 H). Aliran ini banyak memiliki ajaran-ajaran yang bersifat ekstrem dan bertendensi negative dalam kehidupan. Oleh karena itu, aliran ini tidak banyak mendapat pengikut dan tidak bertahan lama dalam sejarah pemikiran Islam.
6.    Aliran Wahdatul Wujud
Pemimpin aliran Wahdatul Wujud adalah filsuf dan sufi yang bernama Ibnu Arabi dari Andalusia. Beliau   dilahirkan  tahun 598 H / 1102 M dan meninggal pada tahun 638 H/1240 M.
Menurut Dr. Abdul `Ala Afifi, tidak ditemui seorang tokoh aliran Wahdatul Wujud dalam Islam yang memiliki ajaran sempurna sistematis terkecuali Ibnu Arabi. Dialah peletak dasar dan Pembina ajaran-ajaran Wahdatul Wujud hingga berdiri sebagai suatu aliran.
Menurut Ibnu Arabi, adanya alam semesta ini tidak bias dipisahkan dengan sejarah Nabi Adam sendiri.[6]
Wahdatul Wujud adalah kepercayaan bahwa yang maujud (ada) itu hanyalah satu, tidak dapat diduakan. Dengan kata lain, tak ada yang maujud(ada) kecuali Allah SWT.[7]
7.    Aliran Ahlus Sunnah
Perkembangan tasawuf aliran Ahlus Sunnah dimulai dengan perkembangan teologi yaitu pembahasan di sekitar aqidah dan tampak menonjol dalam pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Abdullah bin Said Al Kulaby (240 H) dan kemudian berlanjut lebih jelas dalam perkembangan tasawuf di dalam konsepsi yang dikemukakan oleh Al Haris Al Muhasiby (243 H) sebagai seorang ahli kalam dan sufi.
Di bidang teologi tampil Imam Asy`ari (324 H) dan Imam Maturidi (333 H) dengan konsepsi yang sistematis hingga melahirkan daoktrin Ahlus Sunnah Wal Jma`ah.
Di bidang tasawuf, penyempurnaan apa yang telah dikemukakan oleh Al Haris Al Muhasiby dilanjutkan oleh sufi besar Junaid Al Baghdady (297 H) dengan meletakkan dasar-dasar yang kuat, dan kemudian disempurnakan secara sistematis oleh Hujjatul Islam Imam Al Ghazali (505 H) hingga terwujud doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.
Ajaran tasawuf Ahlus Sunnah Wal Jama`ah adalah bersumber dari mereka yang di dalam hidup dan berfikir didasarkan kepada Al-Qur`an dan Sunnah dengan mengambil pelajaran dari ilmu para Nabi dan Rasul dengan mengikuti secara teratur jejak langkah mereka di dalam menghambakan diri, melakukan jihadun nafs, menegakkan akhlak yang utama dengan tingkah laku dan perbuatan yang terpuji di sisi Allah, bening hati dan bersih dalam kehidupan, dan sabar dalam mengatasi berbagai halangan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka adalah para sahabat Rasulullah SAW seperti haritsah, Bara`ah bin Malik, Abu Israil, Huzaifah, Abi Darda`, Abu Zar, `Ukasah, Abdullah bin Umar, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Suhaib, Abu Rafi`I, Bilal Habab dan lain-lain. Dari tabi`in antara lain : Ali bin Husein ( Zainul `Abidin), Muhammad Al Bakir, Ja`far As Shadiq, Uwais Al Qarni, Ibnu Huzaim, Salmah, Hasan Al Basri dan lain-lain.[8] 

Aliran Dalam Filasafat Islam
1.        Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya
ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah menggunakan logika formal yang
berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang
kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni:
Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn
Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2. Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran,
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat
yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini
terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya
sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas
cahaya.
3. Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman
mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional
bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada
hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya
Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau
yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang
berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.