. Fase
Ekspansi
Dalam fase ekspansi ini kehadiran telah cukup banyak mendapat perhatian dan telah para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih dinegeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. .
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q Fatimi dan G.E Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay-Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa islam di Indonesia bermula dari Pantai Coromandel. Sebab menurutnya pada masa Islamisasi kerajaan samudera dimana raja pertamanya (Malik Al-saleh) wafat tahun 1297 M.
Saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari sana tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang ditempat itu.
Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain dikemukakan oleh T.W Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, Bahwa ternyata dipesisir pantai Sumatera telah ada komunitas Muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan local. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M.
2. Fase Disintregasi
Jika menengok sejarah agama-agama, dengan mudah akan dapat diketemukan fakta yang menunjukkan bahwa banyak agama mengalami persebaran hingga keluar jauh dari wilayah asal pertumbuhannya. Bahkan tak jarang, suatu agama justru dapat berkembang dengan jumlah pengikut yang lebih besar di wilayah lain di luar wilayah asalnya. Proses persebaran ini, dapat mengambil pola-pola sebagai berikut:
Pertama, ekspansi, baik melalui kontak langsung maupun hirarkis ; Kedua, pola relokasi. Bersamaan dengan aliran persebaran tersebut, terjadilah proses perubahan dari segi pemahaman maupun praktek yang menunjukkan perbedaan karena faktor lokalitas dan tokohnya. Artinya, banyak agama mengalami perubahan dari aslinya ketika berkembang di wilayah lain. Faktor budaya dan kebiasaan lokal kerap memberi pengaruh terhadap bentuk kepercayaan dan perilaku keberagamaan sehingga muncul fenomena aliran-aliran. Fenomena ini tak terkecuali berlangsung juga dalam tradisi dan komunitas muslim.
Dalam fase ekspansi ini kehadiran telah cukup banyak mendapat perhatian dan telah para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih dinegeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. .
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q Fatimi dan G.E Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay-Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa islam di Indonesia bermula dari Pantai Coromandel. Sebab menurutnya pada masa Islamisasi kerajaan samudera dimana raja pertamanya (Malik Al-saleh) wafat tahun 1297 M.
Saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari sana tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang ditempat itu.
Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain dikemukakan oleh T.W Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, Bahwa ternyata dipesisir pantai Sumatera telah ada komunitas Muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan local. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M.
2. Fase Disintregasi
Jika menengok sejarah agama-agama, dengan mudah akan dapat diketemukan fakta yang menunjukkan bahwa banyak agama mengalami persebaran hingga keluar jauh dari wilayah asal pertumbuhannya. Bahkan tak jarang, suatu agama justru dapat berkembang dengan jumlah pengikut yang lebih besar di wilayah lain di luar wilayah asalnya. Proses persebaran ini, dapat mengambil pola-pola sebagai berikut:
Pertama, ekspansi, baik melalui kontak langsung maupun hirarkis ; Kedua, pola relokasi. Bersamaan dengan aliran persebaran tersebut, terjadilah proses perubahan dari segi pemahaman maupun praktek yang menunjukkan perbedaan karena faktor lokalitas dan tokohnya. Artinya, banyak agama mengalami perubahan dari aslinya ketika berkembang di wilayah lain. Faktor budaya dan kebiasaan lokal kerap memberi pengaruh terhadap bentuk kepercayaan dan perilaku keberagamaan sehingga muncul fenomena aliran-aliran. Fenomena ini tak terkecuali berlangsung juga dalam tradisi dan komunitas muslim.
FAKTOR-FAKTOR KEMAJUAN ISLAM
Semua capaian-capain diatas secara tidak langsung menjadi faktor awal berkembangannya Ilmu pengetahuan dan Filsafat. Adapun faktor-faktor Yang Mendorong Kebangkitan Filsafat Dan Sains yang lain adalah :
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
Berkat keberhasilan penyebaran Islam keberbagai wilayah yang baru, Islam bertemu dengan berbagai kebudayaan baru yang memiliki khazanah pengetahuan yang baru pula dan ini bertemu dengan semangat Umat Islam yang terdorong ajaran agamanya untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari manapun.
2. Pluralistik dalam pemerintahan dan politik
Untuk mengokohkan dinastinya, al-Mansur mengambil strategi yang berbeda dengan Dinasti Umayyah. Dinasti Abbasiyah sangat berbeda Dinasti Umayyah yang sangat bercorak ke Araban. Beberapa hal yang dilakukan oleh al-Mansur antara lain dengan memasukkan orang-orang Persia dalam struktur pemerintahan, seperti menerapkan sistem administrasi pemerintahan Persia dan mengangkat Khalid bin Barmak sebagai wazir-yang kemudian menjadi salah satu tokoh dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Bani Abbas-, menjadi guru bagi Harun al-Rasyid bahkan dia mengawini perempuan Persia dan memiliki keturunan khalifah yang mempunyai perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Konsep konsep pemerintahan ala Persia juga diadopsi beberapa khalifah Abbasiyah dengan cara melakukan kawin silang dengan wanita – wanita Persia (shi’i). Perkawinan ini melahirkan khalifah baru, salah satunya adalah al-Makmun. Pada masa ini pula tata pemerintahan Islam tak lagi menjadi monopoli orang arab. Dinasti abbasiyah membuka ruang yang luas bagi orang di luar Arab, yang ahli di bidangnya, duduk di pemerintahan. Ini terbukti dengan masuknya orang – orang Turki dan Persia.
3. Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi dan Politik
Harun al-Rasyid memanfaatkan kemajuan perekonomian untuk pembangunan di sektor Sosial dan Pendidikan. Seperti pengadaan sarana belajar bagi masyarakat umum. Penyediaan infrastruktur yang dilakukan oleh Harun al-Rasyid pada akhirnya dilanjutkan oleh al-Ma’mun, khususnya dalam bidang pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, kehidupan intelektual serta kebudayaan.
4. Gerakan Penterjemahan
Gerakan ini berlangsung dalam 3 (tiga) fase. Fase pertama, pada masa al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Karya-karya yang diterjemahkan mulai meluas dalam semua bidang keilmuan.
Manuskrip yang berbahasa Yunani diterjemahkan dahulu ke dalam bahasa Siriac-Bahasa Ilmu pengetahuan di Mesopotamia-kemudian diterjemahkan kedalam bahasa arab.
Para penterjemah yang terkenal pada masa itu, antara lain :
a) Hunain ibn Ishaq, ilmuwan yang mahir berbahasa arab dan yunani. Menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 20 buku dalam Bahasa Arab.
b) Ishaq ibn Hunain ibn Ishaq
c) Tsabit bin Qurra
d) Qusta bi Luqa
e) Abu Bishr Matta ibn Yunus
Semua penterjemah ini, kecuali Tsabit ibn Qurra yang menyembah bintang, adalah penganut agama kristen.
5. Berdirinya perpusatakaan-perpustakaan dan menjadi pusat penterjemahan dan kajian ilmu pengetahuan
Al-Ma’mun yang berpaham mu’tazilah, sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga kebijakan dibidang ilmu pengetahuan sangat menonjol yang mengakibatkan gairah intelektual mendapatkan wadah. Ia mendirikan Baitul Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan, akademi, pusat penterjemahan dan lembaga penelitian. Bahkan dilingkungan istana juga didirikan perpustakaan pribadi khalifah yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan bagi keluarga istana dan terhimpun didalamnya para ilmuwan, ulama dan para pujangga.
Jadi di zaman inilah daerah Islam meluas yang akhirnya ilmu pengetahuan berkembang dan memuncak baik dalam bidang agama, non agama dan kebudayaan Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hanbal dalam bidang hokum. Dalam bidang teologi : Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn Ata’, Abu al-Huzail, al-Nazzam, dan al-Jubba’i. sedangkan dalam tasawuf atau mistisisme : Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Dalam bidang filsafat : al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Maskawaih. Dalam bidang ilmu pengetahuan : Ibn al-Haysam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi.
Semua capaian-capain diatas secara tidak langsung menjadi faktor awal berkembangannya Ilmu pengetahuan dan Filsafat. Adapun faktor-faktor Yang Mendorong Kebangkitan Filsafat Dan Sains yang lain adalah :
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
Berkat keberhasilan penyebaran Islam keberbagai wilayah yang baru, Islam bertemu dengan berbagai kebudayaan baru yang memiliki khazanah pengetahuan yang baru pula dan ini bertemu dengan semangat Umat Islam yang terdorong ajaran agamanya untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari manapun.
2. Pluralistik dalam pemerintahan dan politik
Untuk mengokohkan dinastinya, al-Mansur mengambil strategi yang berbeda dengan Dinasti Umayyah. Dinasti Abbasiyah sangat berbeda Dinasti Umayyah yang sangat bercorak ke Araban. Beberapa hal yang dilakukan oleh al-Mansur antara lain dengan memasukkan orang-orang Persia dalam struktur pemerintahan, seperti menerapkan sistem administrasi pemerintahan Persia dan mengangkat Khalid bin Barmak sebagai wazir-yang kemudian menjadi salah satu tokoh dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Bani Abbas-, menjadi guru bagi Harun al-Rasyid bahkan dia mengawini perempuan Persia dan memiliki keturunan khalifah yang mempunyai perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Konsep konsep pemerintahan ala Persia juga diadopsi beberapa khalifah Abbasiyah dengan cara melakukan kawin silang dengan wanita – wanita Persia (shi’i). Perkawinan ini melahirkan khalifah baru, salah satunya adalah al-Makmun. Pada masa ini pula tata pemerintahan Islam tak lagi menjadi monopoli orang arab. Dinasti abbasiyah membuka ruang yang luas bagi orang di luar Arab, yang ahli di bidangnya, duduk di pemerintahan. Ini terbukti dengan masuknya orang – orang Turki dan Persia.
3. Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi dan Politik
Harun al-Rasyid memanfaatkan kemajuan perekonomian untuk pembangunan di sektor Sosial dan Pendidikan. Seperti pengadaan sarana belajar bagi masyarakat umum. Penyediaan infrastruktur yang dilakukan oleh Harun al-Rasyid pada akhirnya dilanjutkan oleh al-Ma’mun, khususnya dalam bidang pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, kehidupan intelektual serta kebudayaan.
4. Gerakan Penterjemahan
Gerakan ini berlangsung dalam 3 (tiga) fase. Fase pertama, pada masa al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Karya-karya yang diterjemahkan mulai meluas dalam semua bidang keilmuan.
Manuskrip yang berbahasa Yunani diterjemahkan dahulu ke dalam bahasa Siriac-Bahasa Ilmu pengetahuan di Mesopotamia-kemudian diterjemahkan kedalam bahasa arab.
Para penterjemah yang terkenal pada masa itu, antara lain :
a) Hunain ibn Ishaq, ilmuwan yang mahir berbahasa arab dan yunani. Menerjemahkan 20 buku Galen ke dalam bahasa Syiria dan 20 buku dalam Bahasa Arab.
b) Ishaq ibn Hunain ibn Ishaq
c) Tsabit bin Qurra
d) Qusta bi Luqa
e) Abu Bishr Matta ibn Yunus
Semua penterjemah ini, kecuali Tsabit ibn Qurra yang menyembah bintang, adalah penganut agama kristen.
5. Berdirinya perpusatakaan-perpustakaan dan menjadi pusat penterjemahan dan kajian ilmu pengetahuan
Al-Ma’mun yang berpaham mu’tazilah, sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga kebijakan dibidang ilmu pengetahuan sangat menonjol yang mengakibatkan gairah intelektual mendapatkan wadah. Ia mendirikan Baitul Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan, akademi, pusat penterjemahan dan lembaga penelitian. Bahkan dilingkungan istana juga didirikan perpustakaan pribadi khalifah yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan bagi keluarga istana dan terhimpun didalamnya para ilmuwan, ulama dan para pujangga.
Jadi di zaman inilah daerah Islam meluas yang akhirnya ilmu pengetahuan berkembang dan memuncak baik dalam bidang agama, non agama dan kebudayaan Islam. Hal ini dibuktikan dengan munculnya ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hanbal dalam bidang hokum. Dalam bidang teologi : Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn Ata’, Abu al-Huzail, al-Nazzam, dan al-Jubba’i. sedangkan dalam tasawuf atau mistisisme : Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Dalam bidang filsafat : al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Maskawaih. Dalam bidang ilmu pengetahuan : Ibn al-Haysam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi.
FAKTOR-FAKTOR KEMUNDURAN ISLAM
Kemajuan-kemajaun yang telah berabad-abad lamanya dibangun, runtuh begitu mudahnya disebabkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggung jawab.
Factor kemunduran islam terbagi kepada dua factor :
1. Faktor internal
· Keruntuhan islam sering disebabkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggungjawab.
· Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengincar kekuasaan.
· Kemungkinan terjadinya desentralisasi dan pembagian kekuasaan didaerah-daerah.
· Menerapkan pajak berlebihan menjadi kebijakan favorit yang dibebankan kepada semua rakyat, tak terkecuali.
· Garis perpecahan antara arab dan non arab, muslim arab dan muslim non arab, antara muslim dengan kaum dzimmi.
· Menurunnya stabilitas keamanan dan bangunan yang tidak terperhatikan sehingga sering terjadi banjir yang membawa malapetaka.
· Banyaknya orang kelaparan yang tidak diperhatikan
· Wabah penyakit sering muncul seperti cacar, pes, malaria dan sejenis demam lainnya.
· Serangan al-Ghazali (w. 1111) terhadap para filosuf dan ilmuwan, yang menyerang rasionalisme dan mengajukan tasawuf sebagai alternative yang paling mungkin untuk menjadi jalan hidup dan penemuan kebenaran agama. Al-Ghazali sangat berpengaruh di dunia Islam, sunni khususnya, sehingga mengakibatkan minat orang terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan menjadi lemah.
Factor eksternal
Penyebab eksternal sebagaimana berikut :
· Pengaruh negative dari aliran-aliran alam pikiran Islam periode sebelumnya
· Pengaruh perang bumi hangus yang dilancarkan oleh bangsa Tartar dari Timur dan serangan Tentara Salib Nasrani dari Barat.
Kemajuan-kemajaun yang telah berabad-abad lamanya dibangun, runtuh begitu mudahnya disebabkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggung jawab.
Factor kemunduran islam terbagi kepada dua factor :
1. Faktor internal
· Keruntuhan islam sering disebabkan oleh para pemimpin yang tidak bertanggungjawab.
· Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengincar kekuasaan.
· Kemungkinan terjadinya desentralisasi dan pembagian kekuasaan didaerah-daerah.
· Menerapkan pajak berlebihan menjadi kebijakan favorit yang dibebankan kepada semua rakyat, tak terkecuali.
· Garis perpecahan antara arab dan non arab, muslim arab dan muslim non arab, antara muslim dengan kaum dzimmi.
· Menurunnya stabilitas keamanan dan bangunan yang tidak terperhatikan sehingga sering terjadi banjir yang membawa malapetaka.
· Banyaknya orang kelaparan yang tidak diperhatikan
· Wabah penyakit sering muncul seperti cacar, pes, malaria dan sejenis demam lainnya.
· Serangan al-Ghazali (w. 1111) terhadap para filosuf dan ilmuwan, yang menyerang rasionalisme dan mengajukan tasawuf sebagai alternative yang paling mungkin untuk menjadi jalan hidup dan penemuan kebenaran agama. Al-Ghazali sangat berpengaruh di dunia Islam, sunni khususnya, sehingga mengakibatkan minat orang terhadap falsafah dan ilmu pengetahuan menjadi lemah.
Factor eksternal
Penyebab eksternal sebagaimana berikut :
· Pengaruh negative dari aliran-aliran alam pikiran Islam periode sebelumnya
· Pengaruh perang bumi hangus yang dilancarkan oleh bangsa Tartar dari Timur dan serangan Tentara Salib Nasrani dari Barat.
Pada prinsipnya, pembaru Islam adalah
orang yang memikirkan dan menyikapi fenomena kehidupan, agar umat terbebas dari
belenggu sistem yang stagnan menuju kemajuan (modern) dengan tetap berpegang
pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan mereka untuk membebaskan dan memajukan
umat ini pun sangat heterogen, ada yang akomodatif, provokatif, dan radikal.
Munculnya para pemikir dan pembaru seperti
Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad
Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil-Wahab (1703-1792 M), Hasan
Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb
(1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), yang kemudian melahirkan apa
yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam,
nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi
intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits.
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik.
Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang J sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.[1]
Sejak abad kesembilan belas inikembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional agamis ini.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath ‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[2]
Sikap Umat Islam dalam Menghadapi Modernisasi
Jika kita teliti lebih cermat secara global, dalam
kaitannya dengan sikap yang dimunculkan untuk menghadapi modernisasi, di
kalangan umat Islam Indonesia terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang
dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada: tradisionalis-konservatif, radikal-puritan
(fundamentalis), reformis-modernis, dan sekuler-liberal.
Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang
menentang kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada
beberapa abad yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktekkan
di kawasan-kawasan tertentu. Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa
tradisi ritual yang diperaktekkan oleh beberapa ulama’ salaf. Para pendukung orientasi
ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan
kelas bawah.[52]
Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga
menafsirkan Islam berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan kontemporer, tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi
modernis untuk membaratkan Islam.[53]
Kelompok ini melakukan pendekatan konsevatif dalam melakukan reformasi
keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin
(purifikasi).[54]
Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok
fundamentalis,[55]
meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok
fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap
konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih kelompok
fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan Agama sebagai doktrin politik
dalam kehidupan bermasyarakat.[56]
Bagi kelompok radikal-puritan ini, syari’ah memang
fleksibel dan bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah,
tetapi penafsiran dan perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang
murni. Maka mereka mengkritik gagasan-gagasan dan praktek-praktek kaum
tradisional,[57]
dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn Taymiyyah, tokoh yang
meninggal pada tahun 1328, adalah tokoh intelektual pemikiran fundamentalis.[58]
Sebuah gerakan pemikiran bercorak
radikal-puritan ini pernah muncul pada abad ke-18, di Najd (sekarang Saudi
Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al Wahhab
(1703-1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal, dan Ibn
Taymiyyah,[59]
dalam memahami al Qur’an secara literal.[60]
Gerakan Wahhabiyyah adalah gerakan
yang muncul pada saat terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak
untuk kembali kepada ajaran Islam murni, memberantas segala bentuk peraktek
yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam,[61]
mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang
menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan
anti-intelektualisme, teturama filsafat.[62]
Gerakan lain yang bercorak semacam ini adalah Jama’at
Islam di Pakistan dengan tokohnya Abu A’la al-Maudûdî (1903-1979), Ikhwanul
Muslimin di Mesir, dengan tokonya Hassan al-Banna dan Seyyed Qutb (1906-1966).[63]
dan Muhammadiyyah di Indonesia, dengan tokohnya K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923),[64]
meskipun pada akhirnya, kelompok yang disebut terakhir ini cenderung menjadi
kelompok yang reformis-modernis.
Menurut penelitian, munculnya
beberapa kelompok radikal adalah karena kehidupannya yang jauh dari kehidupan
modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun,
nomaden.[65]
Wahhabiyyah, muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab,
bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah yang tidak
pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.[66]
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokohnya, muncul pada abad sebelum modern
(pre-modern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu,
secara kultural Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan
bentuk primitif.
Dalam penelitian yang diadakan di
Mesir menyebutkan bahwa kaum militan fundamentalis adalah para penduduk asli
dan tinggal di wilayah urban hanya dalam beberapa waktu.[67]
Ikhwanul Muslimin, kelompok
fundamentalis di Mesir, adalah kaum rural dan menjadi kaum urban hanya
dalam beberapa waktu, dan tidak mampu menghadapi realitas yang disekitarnya.[68]
Muhammadiyyah, didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat
pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang
sebenarnya, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.[69]
Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang
memandang Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan
pribadi. Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktek tradisional
harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al
Qur’an dan al Sunnah (purifikasi Agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan
kontemporer. [70]
Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang
memiliki kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern,
rasional bahkan liberal.[71]
Atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman.[72]
Kelompok modernis ingin menjadikan
Agama sebagai landasan dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak
bertentangan dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin
menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai dengan kebutuhan modern.[73]
Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara
Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus
dirubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.[74]
Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam
secara fleksibel dan bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan
pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern.[75]
Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazilah,[76]
karena pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola
berpikirnya kelompok ini.
Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada
dekade akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan
pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang
terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok modernis mencoba untuk
mempersatukannya.[77]
Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan
beberapa tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), M. Abduh
(1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898),
M. Iqbal (1876-1938) dari India.[78]
Yang memebedakan kelompok ini dengan gerakan
revivalisme adalah bahwa yang pertama lebih banyak terjun di dunia intelektual,
sementara yang ke dua terjun di dunia politik, doktrin.[79]
Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang
bahwa jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau
membatasi segala urusan Agama dan ritual kepada personal dan menegaskan
kekuatan logika dalam kehidupan publik. Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi
Barat terutama paham nasionalisme.[80]
Meskipun komunitas Islam di dunia ini sangat beragam,
di sana hanya ada satu Islam, yang beragam hanya bentuk interpretasi dari
masing-masing pemeluknya terhadap ajaran Islam itu. Sifat tradisional dari
sebuah Agama adalah bahwa ia dimanifestasikan dalam kecenderungannya kepada
Yang Maha Kuasa, yang didasarkan pada kesatuan tentang Yang Maha Suci, dan
memandang Yang Maha Kuasa sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah dari masa
lampau hingga sekarang.
Sesungguhnya yang menjadi perdebatan di antara
beberapa kelompok di atas bukanlah tentang pokok-pokok ajaran Agama itu sendiri
(great tradition), akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam
itu di dalam sistem kehidupan sosial (little tradition).[81]
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa
pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,[82]
bahwa kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari
pengaruh kondisi sosial dan politik, begitu juga dengan yang berkembang di masa
berikutnya, tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial dan
budaya bangsa yang sedang berkembang.
Di samping alasan di atas, ada
alasan lain yang menjadi kemelut di antara orientasi ideologis dari beberapa
pemikiran di atas, yaitu pemahaman yang berbeda di antara mereka dalam memahami
Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas (model of reality)
ataukah model untuk sebuah realitas (models for reality).
Yang pertama mengisyaratkan bahwa
Agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua
mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas
manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau
doktrin bagi sebuah realitas.[83]
Dalam kajian modern tentang sejarah umat Islam
ditemukan bahwa, meskipun berdasarkan pada Agama yang sama, para pemeluk Agama
ini memiliki pemahaman yang berbeda, dan seringkali perbedaan itu memicu
persaingan dan konflik, di dalam menghadapi tantangan modernitas.[84]
Di Indonesia, terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya
dikenal adanya Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai
kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis.[85]
Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam
perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.[86]
Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan
bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Di mana
Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam
memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada
dalam kelompok tradisonalis.[87]
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi
Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya,
yaitu paham jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan
manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal
untuk memamahmi masalah-masalah akidah.[88]
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga
mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata
lebih modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas
Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[89]
Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa
pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya
khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan
munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh
kalangan pemuda NU.
Terlepas dari perdebatan pendapat dalam masalah itu,
yang jelas, kelompok tradisionalis, di Indonesia, biasanya bergabung dengan
organisasi bernama NU,[90]
sementara kelompok modernis, reformis, radikalis, puritan, dan fundamentalis,
lebih memilih Muhammadiyyah sebagai organisasi keagamaannya.[91]
Dari itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di Indonesia,
seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama di atas.
Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan
Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat
dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban),
berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih
terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal
status sosial,[92]
tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith
sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka,
tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu
bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip
kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[93]
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala
perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan
dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus
perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith
sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak
boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.[94]
Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at
misalnya, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu
adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar
bertongkar, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.
Perbedaan lain yang sangat mencolok
adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan
sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id)
berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb.
Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20
raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam
pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang
Muhammadiyyah di lapangan terbuka.
Dalam bidang
pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan
kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang
muncul pada abad Islam klasik.[95]
Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem
klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.[96]
Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan yang lain, yang bisa dijadikan
sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di Indonesia, menjadi NU dan
Muhammadiyyah.
Secara rigkas, dalam Islam ada banyak ragam sikap dari
gerakan-gerakan berbasis Agama dalam menyikapi modernisasi. Pertama, mereka
yang menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap perubahan mendasar dalam
struktur kehidupan sosial, yang diakibatkan oleh modernisasi. Kedua, yang
mengikuti modernisasi tetapi menentang sekularisasi. Ketiga, yang melakukan
penyesuaian terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen
penyebar sekularisasi,[97]
karena di antara karakteristik abad modern adalah munculnya sekularisasi
terhadap sistem keagamaan tradisional.[98]
Kelompok
yang disebut terakhir ini memiliki pandangan bahwa munculnya sebuah modernitas
memaksa adanya sebuah perubahan. Dan Agama selalu menghadapi perubahan,
sehingga memaksa terjadinya pengembangan beberapa mekanisme keagamaan yang
sesuai dengan keadaan.[99]