Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard
H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya
pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai.
Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah
singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah
banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang
menyebarkan ajaran Islam.
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu teori Gujarat.
Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan
pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan
berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh
mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan
Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal
dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli
yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik
Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang
berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya
berasal dari Persia (Iran).
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam
Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein
cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di
Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu
Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda
bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama
salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein
Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran
Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari
peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati.
Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali
yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
1.Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2.Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3.Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4.Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5.Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6.Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7.Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8.Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9.Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard
H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya
pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai.
Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah
singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah
banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang
menyebarkan ajaran Islam.
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu teori Gujarat.
Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan
pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan
berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh
mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan
Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal
dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli
yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik
Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang
berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya
berasal dari Persia (Iran).
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam
Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein
cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di
Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu
Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda
bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama
salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein
Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran
Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari
peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati.
Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali
yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
1.Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2.Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3.Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4.Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5.Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6.Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7.Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8.Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9.Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)
Abad ke-11 Masehi
Pendapat ini didasarkan pada bukti adanya makam seorang muslimah yang bernama Fatimah Binti Maemun yang berangka tahun 1082 M. Makam ini terdapat di Leran, Gresik, Jawa Timur.
Pendapat ini didasarkan pada bukti adanya makam seorang muslimah yang bernama Fatimah Binti Maemun yang berangka tahun 1082 M. Makam ini terdapat di Leran, Gresik, Jawa Timur.
Keberadaan makam Fatimah Binti Maemun ini dijadikan
bukti bahwa pada sekitar abad ke 11 di kawasan tersebut telah berkembang
masyarakat Muslim. Dengan demikian Islam telah datang ke kawasan itu pada abad
ke-11.
BAB I
PENDAHULUAN
Kawasan Asia Tenggara sejak awal Masehi telah berfungsi sebagai jalur lintas
perdagangan bagi kawasan sekitarnya, Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan
Asia Selatan, hubungan pelayaran antar benua terus berlanjut ke Barat sebelum
akhirnya mencapai Eropa. Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia Tenggara
pada abad-abad berikutnya, ketika perdagangan memasuki era “globalisasi” di
abad ke-5, menjadi lebih ramai dengan hadirnya berbagai pedagang dan pelaut
yang biasa berlayar melalui wilayah tersebut. Sebagai dampak dari hubungan
antar bangsa ini, beberapa Bandar/pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, berubah fungsi menjadi Bandar regional. Wilayah barat Indonesia dan
sekitar Malaka merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil
bumi yang dijual di sana menarik bagi pedagang dan menjadi daerah lintasan
penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa
antara abad ke-1 dan ke-7 Masehi sering disinggahi pedagang asing, seperti
Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatra, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Dampak lain dari komunikasi internasional ini adalah masuknya pengaruh tradisi
besar ke Indonesia, mulai Hindu-Budha pada abad ke-1-5 M, kemudian Islam pada
abad ke-7-13 M, dan Eropa sejalan dengan kolonialisme di Indonesia. Masuknya
tradisi Hindu-Budha, dilihat dari aspek kebudayaan, telah membawa dampak yang
sangat besar. Hindu-Budha menjadi agama yang dianut masyarakat setempat, yang
disusul dengan kehadiran bangunan-bangunan keagamaan untuk masyarakat penganut
agama tersebut. Beberapa daerah di kawasan ini kemudian menjadi basis
perkembangan Hindu-Budha, bahkan hinggga sekarang ini, seperti di Jawa dan
Bali.
Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa,
organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia yang
berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan
nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih
dulu daripada Islam.
Kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju
daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena
daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk
pesisir tekena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang
singgah. Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara
keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini
seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa. Terutama dengan
pedagang muslim, mereka (pedagang kecil) perlahan-lahan mengetahui apa itu
Islam dan bagaiman ajarannya. Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih
tertutup (konservatif) dari budaya luar. Mereka lebih condong pada kebudayaan
nenek moyangnya dan sulit menerima kebudayaan dari luar.
Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman.
Masuknya Islam masih terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih
eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Kedua
kerajaan ini merupakan kerajaan besar Hindu Budha yang akhir di Nusantara ini.
Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh
sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada
tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke
Indonesia. Teori-teori tersebut mencoba memberikan jawaban atas permasalahan
tentang masuknya Islam ke Indonesia, dengan perbedaan pendapat mengenai waktu
masuknya agama Islam, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat
pengambilan ajaran Islam, dan pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke
Indonesia.
Untuk dapat mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan teori-teori itu, di sini
akan dibahas secara sederhana sebagai berikut:
Pertama: Teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13
M.
Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Pijnapel, seorang sarjana dari
Universitas Leiden, pada tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang
catatan perjalanan Marcopolo yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1292 M
dan Ibnu Battuta yang mengunjungi Pasai pada tahun 1345 M, ia menyimpulkan
bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India
yang membawa Islam ke Asia Tenggara, Indonesia khususnya. Dia mendukung
teorinya ini dengan menyatakan bahwa melalui perdagangan, sangat mungkin adanya
hubungan antara kedua wilayah ini.
Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Christian Snouck Hurgronje. Snouck
lebih menitikberatkan pandangannya berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang
menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Kedua, hubungan dagang sudah terjalin lama antara Indonesia dengan India.
Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra pada abad 13 M,
yakni adanya makam atau batu nisan Sultan pertama Kerajaan Samudra Pasai,
Sultan Malik al-Saleh. Pada makam itu tertulis bahwa ia wafat pada Ramadhan 696
H/ 1297 M.
Teori Snouck ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan
menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam dating ke
Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya
para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Di Indonesia, pendapat ini diusung oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat yang
menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13 M dan wilayah
pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai. Fokus pandangannya tentang masuknya
agama Islam ke Indonesia berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh
beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja
tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya
Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera
Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati
Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan
bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar (fathah), jer
dari ze-er (kasrah) dan beberapa yang lainnya.
Dari beberapa argumen yang dikemukakan di atas, mereka terlihat Hindu Sentris,
karena beranggapan bahwa seluruh perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya dan
agama di Indonesia tidak mungkin terlepas dari pengaruh India.
Kedua: Teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/ I
H.
Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De
Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang
langsung dari Arab. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab
Syafi’i, sama seperti yang dianut kaum muslimin di Indonesia umumnya. Teori ini
juga dianut oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut,
bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadramaut adalah
pengikut mazhab Syafi’i seperti juga kaum muslimin di Indonesia. Sedangkan Veth
hanya menyebut “orang-orang Arab”, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah
maupun kaitannya (kalau ada) dengan Hadramaut, Mesir atau India.
Teori ini juga diajukan oleh Hamka sebagai koreksi dan kritik terhadap teori
lama, yaitu teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-13 M. Koreksinya ini disampaikan dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Kemudian dikuatkan
dengan sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya agama Islam ke Indonesia, di
Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, karena di Indonesia pada abad ke-13
telah berdiri kekuasaan politik Islam.Jadi masuknya agama Islam ke Indonesia
terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7. Hamka juga menolak pendapat yang
menyatakan bahwa orang-orang yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia
adalah berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan
bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan
sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai
tempat pengambilan ajaran Islam. Hal ini ia kemukakan berdasarkan bukti adanya
jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional pada abad ke-7 M melalui
selat Malaka. Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511), merupakan pusat
utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah
dari seluruh pelosok Indonesia dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, yang
melakukan hubungan langsung dagang dengan Malaka pada waktu itu. Lebih ke Barat
lagi dari Gujarat, perjalanan melalui laut melintasi Laut Arab. Dari sana
perjalanan bercabang dua: jalan pertama di sebelah utara menuju Teluk Oman,
melalui Selat Ormuz, ke Teluk Persia. Jalan kedua melalui teluk Aden dan Laut
Merah, dan dari kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke Kairo dan
Iskandariah. Melalui jalur pelayaran tersebut, kapal-kapal Arab, Persia, dan
India mondar-mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Cina dengan menggunakan
angin musim unruk pelayaran pulang perginya. Perkembangan pelayaran dan
perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian
Barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani
Umayyah di bagian barat dan Kerajaan Cina zaman Dinasti T’ang di Asia bagian
timur serta Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Pendapat Hamka di atas dikukuhkan lagi dalam seminar Sejarah Islam di Banda
aceh pada 1978. Dalam kesimpulan akhir seminar yang disusun oleh Prof. Ali
Hasyimi, disebutkan bahwa agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
pertama Hijriah, langsung dari Arab. Selanjutnya seminar juga berpendapat bahwa
daerah yang pertama kali masuk dan menerima Islam di Indonesia adalah Aceh dan
Kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak. Pendapat A. Hasyimi ini
berdasarkan informasi dari sumber kepustakaan berbahasa Arab, kitab Izhar
al-Haqq fi Mamlaka Ferlaq wa Fasi, yang datanya ia peroleh dari H. Junus
Djamil. Menurut Junus Djamil, kitab ini dikarang oleh Abu Isaq Makarani al-Fasi
setebal dua ratus halaman dan terdapat nama angka tahun tertua Kerajaan Perlak,
255 H/ 840 M. Kitab ini juga memuat daftar silsilah Sultan Perlak. Jadi
terdapat keterangan dari berbagai sumber tertulis tentang kehadiran kesultanan
Islam di Sumatra pada abad ke-3-5 H. namun belum dapat diperoleh data
perbandingan dengan bukti tulisan-tulisan pada makam kuno. Makam kuno di Sumatra
yang beerangka tahun tertua berasal dari abad ke-7 H/ 13 M. Adapun di Jawa,
bukti tertua terdapat di Leran, Gresik, Jawa Timur, berupa komplek pemakaman
Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang muslimah bernama
Fatimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H/ 1082 M, yaitu
pada zaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk
asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Menurut catatan sejarawan Cina, bangsa Arab sudah mendarat di pesisir pantai
Sumatra sebelum lahirnya Islam. Dari hasil-hasil barang galian yang dilakukan
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia telah ditemukan tiga ribu
tulisan pada batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian diukir
dengan huruf himyar dan sebagian lainnya ditulis dalam bentuk syair Arab pada
batu-batu nisan dan lain-lain dengan mencantumkan tahun Hijrahnya. Kini sudah
dilakukan penelitian intensif oleh beberapa sejarawan Indonesia. Hasil
penelitian itu menyatakan adanya para pedagang Arab di Sumatra Utara atau lebih
tepatnya di Aceh, sebelum lahirnya Islam. Para sejarawan Indonesia itu antara
lain adalah Najib Alatas, Qaddarallah al-Fathimi dan Muhammad Husein Nania.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah
perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak
Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera
sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Dari bukti-bukti di atas, dapat
dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada masa Rasulullah SAW. masih
hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima
wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua
(kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara
diam-diam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru
melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya
tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang
berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan
waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi
dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan
kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama
yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu
terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah
kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha
Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan
kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua
setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka
yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua
syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di
atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun. Jika ini yang
terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam
masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat
Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r.a.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah
mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Ta-Cheh), sebutan untuk
orang Arab, pada tahun 651 M atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti
yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah
sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’
menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali
berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa
kepemimpinan Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang dua puluh tahun
setelah Rasulullah wafat (632 M). Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan
bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi
milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India
dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau
Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat
bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya.
Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu
ke Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah
terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih
dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan ada
proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri
Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut. “Dari Raja di Raja
[Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu
seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di
wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak
12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah
yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda
mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan
menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi
surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung
pada tahun 100 hijriah atau 718 Masehi.
Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau
tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi
penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan
peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi
hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali
kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah
Nusantara.
Ketiga: Teori yang mengkompromikan kedua teori atau pendapat di atas. Menurut
teori ini, Islam memang benar sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-7 M,
tetapi baru berkembang pada abad ke-13 M.
Teori yang ketiga ini dianut oleh J.C. van Leur. Ia menyatakan bahwa pada 674 M
di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan (Koloni) Arab Islam. Dengan
pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton
pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M
dan 626 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini
mulai mempraktikkan ajaran agama Islam. Dari keterangan ini, masuknya Islam ke
Indonesia tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan telah terjadi sejak abad
ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan agama Islam, sebagai
akibat adanya perubahan jalan laut perdagangan, yang tadinya melalui Selat
Sunda berubah melewati selat Malaka. Perubahan ini mempengaruhi timbulnya pusat
perdagangan Islam di Selat Malaka. Perluasan lebih lanjut dipengaruhi oleh
adanya perubahan politik di India, yaitu runtuhnya kekuasaan Brahmana yang
diikuti dengan timbulnya kekuasaan politik Mongol (1526) dan jatuhnya Kerajaan
Vijayanagar (1556). Perubahan politik ini memberi peluang kepada agama Islam
untuk mengembangkan pengaruhnya di Indonesia.
Meskipun pendapat J.C. van Leur ini sedikit berbeda dengan pendapat sejarawan
sebelumnya, namun ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari pengaruh Gujarat
tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, mengikuti pendapat Snouck Hurgronje.
Selain perbedaan waktu, ia juga mengakui adanya peranan bangsa Arab sebagai
pembawa agama Islam.
Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah juga mendukung teori ini.
Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad
ke-7 M, tapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di
pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai
kekuatan politik pada abad ke-13 M dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai.
Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad, ibukota Abbasiyah, oleh
Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktifitas
perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Islam
Masuk ke Indonesia pada Abad ke-7 – 8 Masehi
Pada tulisan
terdahulu telah diuraikan beberapa pendapat tentang kapan masuknya Islam ke Indonesia. Dalam tulisan ini secara
spesifik menjelaskan beberapa tokoh yang berpendapat bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-7 – 8 Masehi.
1. Wan Husein
Azmi
Secara tegas mengemukakan bahwa dakwah Islamiah mulai lahir di tanah Melayu dalam tahun 630 M, dengan alasan antara lain:
Secara tegas mengemukakan bahwa dakwah Islamiah mulai lahir di tanah Melayu dalam tahun 630 M, dengan alasan antara lain:
a.
Saudagar-saudagar Arab Selatan
Semenanjung Tanah Arab yang pulang balik ke tanah Melayu ramai di antara mereka
telah masuk Islam di tahun 630, karena di tahun ini seluruh kabilah Arab
mengantar rombongan itu, termasuk rombongan dari Yaman dan Hadramaut yang telah
masuk Islam.
b.
Terdapat catatan Cina tentang
adanya sebuah kerajaan yang bernama Ta Chi di gugusan pulau Melayu dan kerajaan
ini telah menjalin hubungan diplomatik dengan Cina dari tahun 630 hingga 655.
Ta Chi adalah nama yang diberi oleh orang-orang Islam gugusan pulau Melayu di
pertengahan abad ke-7.
c.
Ajaran Islam sendiri mewajibkan
atas kaum Muslim untuk menyebarkan dakwah Islamiah berdasarkan hadis “sampaikan
walau hanya satu ayat”.
2. A Hasjmy
Berdasarkan keterangan Dr. Ilyas Ismail (Imam Besar Masjid Manila) bahwa Islam telah masuk ke Aceh Besar pada masa Utsman bin Affan (abad ke-1 H/7 M). Pendapat Ilyas Ismail didasarkan pada catatan pedagang Arab dalam naskah tua di Manila.
Berdasarkan keterangan Dr. Ilyas Ismail (Imam Besar Masjid Manila) bahwa Islam telah masuk ke Aceh Besar pada masa Utsman bin Affan (abad ke-1 H/7 M). Pendapat Ilyas Ismail didasarkan pada catatan pedagang Arab dalam naskah tua di Manila.
3. Hamka
Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 – 8 M, dengan alasan:
Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-1 H atau abad ke-7 – 8 M, dengan alasan:
a.
Orang Arab (Islam) telah memegang
peranan penting di perairan Selat Malaka.
b.
Kota Kalah (Kedah, Kra, Klang)
telah menjadi kota pertemuan antara pedagang Arab dan Tiongkok.
c.
Tahun 674 telah dijumpai orang
Islam di Jawa. Berdasarkan catatan Cina bahwa Raja Ta Chi/Ta Cheh telah
mengirim utusan ke Cho Po (Jawa), ke kerajaan Ho Ling (Kalingga) untuk
menebarkan pundi-pundi emas.
(Orang Tionghoa menyebut orang-orang Islam
dengan sebutan Ta Chi atau Ta Cheh).
Pendapat di atas
didukung oleh:
- H. Agus Salim
Agama Islam masuk ke kawasan Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam di Tiongkok (abad ke-7 M). Alasannya, sejak semula perdagangan antara Tiongkok dengan Nusantara sudah ramai, khususnya kawasan Sumatra.
Agama Islam masuk ke kawasan Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam di Tiongkok (abad ke-7 M). Alasannya, sejak semula perdagangan antara Tiongkok dengan Nusantara sudah ramai, khususnya kawasan Sumatra.
- T.W. Arnold
Dalam bukunya The Preaching of Islam disebutkan: ada kemungkinan Islam datang ke Nusantara awal anad ke-7 M. Hal ini didasarkan telah ramai kegiatan perdagangan dengan dunia Timur yang sejak dulu telah dilakukan oleh orang-orang Arab.
Dalam bukunya The Preaching of Islam disebutkan: ada kemungkinan Islam datang ke Nusantara awal anad ke-7 M. Hal ini didasarkan telah ramai kegiatan perdagangan dengan dunia Timur yang sejak dulu telah dilakukan oleh orang-orang Arab.
- D.G.E. Hall
Dalam buku History of East Asia disebutkan bahwa sejak abad ke-7 M pedagang-pedagang Arab Muslim sudah melakukan perdagangan dengan beberapa kerajaan di Indonesia.
Dalam buku History of East Asia disebutkan bahwa sejak abad ke-7 M pedagang-pedagang Arab Muslim sudah melakukan perdagangan dengan beberapa kerajaan di Indonesia.
Pendapat di atas
yang menyatakan bahwa Islam telah masuk dan berkembang di Nusantara pada abad
ke-7 – 8 M didasarkan pada hubungan perdagangan antara pedagang muslim dengan
Indonesia sejak abad ke-1 H. Hal ini dimungkinkan karena Selat Malaka sejak
dulu merupakan jalur perdagangan antara Arab, India, dan Cina. Karena kegiatan
pelayaran dan perdagangan waktu itu sangat tergantung pada angin musim, maka
selama menunggu datangnya angin musim yang diharapkan (kurang lebih selama 3
bulan), para pedagang muslim berkesempatan untuk menyebarkan agama Islam kepada
penduduk di Nusantara.
Dalam
penjelasan lain disebutkan bahwa bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir
abad 11 M di Indonesia, khususnya di daerah Jawa, sudah ada penganut Islam yang
bermukim di kota pelabuhan. Bukti arkeologis itu berupa batu nisan bertulis
dari pemakaman kuno di Leran, di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu
nisan itu tertulis nama Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dengan angka tahun
475 H bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan
kerajaan Kadiri. Jika dilihat dari namanya tampak bahwa dua generasi di atas Fatimah
(ayah dan kakeknya, yakni Maimun dan Hibatallah) sudah memeluk agama Islam.
Namun, tidak jelas betul apakah mereka warga lokal yang memeluk agama Islam,
ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat lalu meninggal dan
dimakamkan di sana.
Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun seperti gelar-gelar kebangsawanan lokal. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar sultan. Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri.
Munculnya bukti material tentang keberadaan Islam di Nusantara adalah dengan diketemukannya batu nisan berhuruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di daerah Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti ini memuat nama Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya yaitu 602 H atau abad 13 M yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga ia adalah seorang wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Sama halnya dengan Fatimah binti Maimun, ia juga diduga sebagai seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
“Ada beberapa versi yang berkembang hingga kini. Ada teori yang berpendapat bahwa Islam itu sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi. Tetapi, ada juga yang menyebutkan di abad ke- 8, abad ke-13, dan abad ke-14,” kata guru besar ilmu sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Prof Susanto Zuhdi, kepada Republika. Kesemua teori itu, menurutnya, masih harus didukung dengan bukti-bukti fisik, seperti batu prasasti ataupun batu nisan. Bukti-bukti fisik ini, diakuinya, memang masih minim dan hampir jarang ditemukan dan dipublikasi secara global.
Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun seperti gelar-gelar kebangsawanan lokal. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar sultan. Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri.
Munculnya bukti material tentang keberadaan Islam di Nusantara adalah dengan diketemukannya batu nisan berhuruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di daerah Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti ini memuat nama Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya yaitu 602 H atau abad 13 M yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga ia adalah seorang wanita bumiputra yang memeluk agama Islam. Sama halnya dengan Fatimah binti Maimun, ia juga diduga sebagai seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
“Ada beberapa versi yang berkembang hingga kini. Ada teori yang berpendapat bahwa Islam itu sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi. Tetapi, ada juga yang menyebutkan di abad ke- 8, abad ke-13, dan abad ke-14,” kata guru besar ilmu sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Prof Susanto Zuhdi, kepada Republika. Kesemua teori itu, menurutnya, masih harus didukung dengan bukti-bukti fisik, seperti batu prasasti ataupun batu nisan. Bukti-bukti fisik ini, diakuinya, memang masih minim dan hampir jarang ditemukan dan dipublikasi secara global.
Seperti yang
sudah dijelaskan diatas, salah satu bukti fisik yang menunjukkan kapan Islam
masuk ke wilayah Indonesia adalah sebuah batu nisan yang bertuliskan nama
Fatimah binti Maimun binti bin Hibatullah yang wafat pada 475 H/1082 M yang
ditemukan di Leran, Gresik. Makam tersebut terdapat di kelompok makam di Leran,
bersama-sama dengan beberapa makam yang tidak berangka tahun. Jenis nisan pada
makam-makam tersebut seperti yang ditemukan di Campa, berisi tulisan yang
berupa doa-doa kepada Allah. “Tapi, temuan harta karun Kerajaan Tiongkok dan
Kerajaan Persia dari bangkai kapal karam berusia seribu tahun di perairan
Cirebon baru-baru ini menunjukkan bahwa Islam sudah ada di Indonesia sejak abad
ke-9,” tambahnya.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/history/2300202-gambaran-umum-tentang-hadirnya-islam/#ixzz2GyqgKOGb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar