Halaman

Senin, 07 Januari 2013

ijtihad2


Ijtihad secara etimologi berasal dari kata

بذل الجهد واسفراغ الؤسع فى تحقيق الامر لا يكون الا بكلفة و مشقة

Artinya:mencurahkan segala kemampuan dengan optimal,dan mengerahkan segala kemampun dalam menyatakan sesuatu dengan susah payah
Sedangkan ijtihad secara terminologi;
1.seperti yang dikemukakan Khasbullah ;

بذل الفقيه جهده في استناط الحكم شرعي من دليله على وجه يحس  فيه العجز عن المزيد

Artinya;usaha seorang faqih dengan sungguh-sungguh dalam menggali hokum Syara` dari dalilnya, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.
Definisi yang diketengahkan Aly Khasbullah ini menekankan pada seorang faqih untuk menggali hokum Syara dari dalilnya .
2.Definisi yang diketengahkan oleh al-Ghozali ;`

بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بالاحكام الشرعية 

Artinya;upaya maksimal seorang mujtahid dalam memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum Syara`.
Definisi yag diketengahkan oleh al-Ghozali diatas lebih bersifat umum ,dan ditekankan pada adanya upaya yang maksimal bagi seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum Syara`.
3.Definisi yang diketengahkan Abu Zahrah

يذل الفقيه وسعه في استنباط الحكام العملية من اد لتها التفصيلة                 

Artinya: upaya seorang faqih yang menggunakan seluruh kemampuanya  untuk menggali hukum yang bersifat `amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Definisi yang diketengahkan Abu Zahrah ini lebih menekankan pada subyekny adalah seorang faqih dan lebih spesifik dari penjelasan sebelumnya yaitu pada hokum-hukum yang bersifat `amaliah(praktis).
4.Definisi yang diketengahkan oleh Abdul Whab Kholaf ;

بذل المجتهد للوصول الى الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من الادلة الشرعية   

Artnya; mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum Syara`[4]
Defini yang diketengahkan oleh Abdul Wahab Kholaf ini hanya menekankan pada upaya secara optilal untuk sampai kepada hokum Syara` dari dalil yang terperinci.
5.Definisi yang diketengahkan oleh al-Amidi ,sebagai berikut ;

استفراغ الوسع في طلب الظني شيء من الاحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه

Artinya; mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum Syara`yang bersifat dzanni , sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.
Definisi yang diketengahkan al-Amidi mengdentifikasikan bahwa objek ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat dzanni, sehingga hasilnyapun tidak mutlak benar.
   
Dari definisi-definisi yang diketengahkan oleh para ulama ahli Ushul Fiqih diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ijtihad adalah upaya optimal seorang faqih untuk menyatakan suatu hukum yang bersifat amaliah/praktis dari dalil-dalil Syara`yang terperinci pada masalah-masalah yang belum ada nash-nashnya yang dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur`an dan nash-nash yang bersifat dzanni.
Dari pengertian ijtihad diatas mengandung unsur-unsur sebagai berikut;
1)      Upaaya optimal oleh seorang mujtahid/faqih
Ijtihad tidak akan mungkin terlaksana tanpa adanya upaya yang sunggu-sungguh dan optimal seorang yang akan berijtihad dan dituntut untuk menguasai berbagai disiplin ilmu yang diperlukan oleh karena itulah imam al-Ghozali dalam definisinya menyebut kata” al-mujtahid”  
2)      Objek-objeknya
Dari pengertian diatas objek ijtihad adalah pada hukum-hukum yang bersifat amaliah/praktis, yaitu dalam bidang fiqih saja, oleh karena itu masalah-masalah selain fiqih seperti aqidah tidak termasuk objek ijtihad .hal ini menunjukan bahwa ijtihad yang dilakukan ulama Ushul Fiqih bukan ijtihad yang bersifat holistik.
3)        ANilai kebenarannya adalah dzanni
Kebenaran yang dihasilkan ijtihad tidak bersifat mutlak, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan produk yang dihasilkan oleh akal terdapat adanya kesalahan. Disini dapat di ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW.sebenarnya bukan seorang mujtahid, sebab apa yang diketengahkan Nabi Muhammad SAW.nilai kebenarannya adalah mutlak.


Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah
(a) mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b) Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain.

Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama usul fiqh. Namun secara umum adalah:
عَمَلِيَّةُ اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ فيِ الشَّرِيْعَةِ

Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat”
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.

Dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a.” dan hadits lain yang artinya “Rasulullah SAW bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan.”

Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar  dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian”.[1][1]
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syari’at.[2][2]
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :
1.    Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2.    Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3.    Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut,  ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.

Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah, seperti pada :
a.    Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar hukum.
b.    Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain (ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi pengertian :
1.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.
2.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah kulliyah.
3.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.[3][3]

.Objek Ijtihad .

Hal-hal yang dapat dijadikan obyek ijtihad bagi para mujtahid dapat dikelompokan menjadi dua macam;
1) Hal yang memang nashnya sudah ada.
Dalam hal ini, y`ng menjadi objeknya terbatas pada sekedar nash dan mujtahid tidak boleh melampaui batas-batas yang membuat munculnya beberapa kemungkinan dalam dilalah (pengertian)yang telah ditunjuk oleh nash itu sendiri. Hal ini dapat dilihat adanya nash yang keadaanya sebagai berikut;
a).Keadaan nash itu berupa al-Qur`an atau Hadist mutawatir.Jika kedudukan nya bersifat dzanni dan dilalahnya bersifat qath`iy, maka obyek ijtihad para mujtahid adalah melakukan penelitian hukum yang hanya pada sisi dilalahnya (pengertian), dalam artian:kedudukan yang terkandung didalamnya.
b).Keadaan nash berupa Hadist. Jika demikian maka yang perlu dilihat adalah:
1.jika kedudukannya bersifat dzanni dan dilalahnya bersifat qath`iy maka obyek ijtihad hanya terbatas pada penelitian terhadap: keshahihan sanad hadist dan hal-hal yang beerhubungan dengan matannya.
2.Jika kedudukan dan dilalahnya sama-sama bersifat dzanni,maka objek para mujtahid terbatas pada hal-hal yang masih ada hubunganya dengan keadan nash, sekalipun dilalahnya menunjukan adanya beberapa alternatif.
3) Hal- hal yang memang nashnya benar-benar tidak ditemukan, bahkan tidak ada sama sekali.
Jika demikian, para mujtahid babas dan tidak terikat,sehingga untuk menemukan dan menentukan hukum ,diberikan suatu kebebasan kebebasan untuk mengadakan penelitian dengan menggunakan berbagai macam bentuk metode ,seperti: qiyas, maslahah mursalah, istihsan, urf dan sebagainya.
Keadaan kedua yang tanpa adanya nash inilah, hasil para mujtahid yang berbeda-beda , sesuai dengan pandangandan metode pengambilan hukum yang dipakai, tetapi tidak perlu diperdebatkan yang sampai dapat melemahkan Syari`ah Islam sendiri, sebab dengan cara ini, dapat dijadikan sebagai bukti akan adanya sifat kelestarian dan fleksibilitas Syari`ah Islam itu sendiri.

Peranan Ijtihad
Berdasarkan pengertian ijtihad itu sendiri kita sudah bisa menerka maksud dari ijtihad itu. Di atas telah dijelaskan bahwa ijtihad itu digunakan pada suatu hukum/ dalil yang belum jelas. Oleh karena itu Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Menurut imam syafi’i ra. (150-204) dalam kitabnya Ar-Risalah, menegaskan: “maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seseorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurut beliau hukum-hukum yang dikandung Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus dagali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah mrnguji ketaatan hambanya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan imam syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-Quran dan hadis. Ijtihad juga berperan dalam menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir, seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya  sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad. Dan juga berperan dalam mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu  pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
Ijtihad adalah nafasnya hukum Islam. Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum Islam pun terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakat.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang zhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum Islam.  
Dari penjelasan di atas Peranan Ijtihad secara garis besar  adalah sebagai berikut :
1.      Dalam menjelaskan/memahami Ayat-ayat mutasyabihat. 
2.      Dalam memahami/menjelaskan yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir.
3.      Untuk menentukan hukum yang belum jelas/ hukum sesuatu yang baru yang belum dijelaskan oleh Al-Quran secara eksplisit.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar