Ijtihad secara etimologi berasal dari kata
بذل الجهد
واسفراغ الؤسع فى تحقيق الامر لا يكون الا بكلفة و مشقة
Artinya:mencurahkan segala kemampuan
dengan optimal,dan mengerahkan segala kemampun dalam menyatakan sesuatu dengan
susah payah
Sedangkan ijtihad secara terminologi;
1.seperti yang dikemukakan Khasbullah ;
بذل الفقيه جهده في استناط الحكم شرعي
من دليله على وجه يحس فيه العجز عن
المزيد
Artinya;usaha seorang faqih dengan
sungguh-sungguh dalam menggali hokum Syara` dari dalilnya, sehingga dirinya tidak
mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.
Definisi yang diketengahkan Aly
Khasbullah ini menekankan pada seorang faqih untuk menggali hokum Syara dari
dalilnya .
2.Definisi yang diketengahkan oleh al-Ghozali ;`
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم
بالاحكام الشرعية
Artinya;upaya maksimal seorang
mujtahid dalam memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum Syara`.
Definisi yag diketengahkan oleh
al-Ghozali diatas lebih bersifat umum ,dan ditekankan pada adanya upaya yang
maksimal bagi seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum Syara`.
3.Definisi yang diketengahkan Abu Zahrah
يذل الفقيه
وسعه في استنباط الحكام العملية من اد لتها التفصيلة
Artinya: upaya seorang faqih yang
menggunakan seluruh kemampuanya untuk menggali hukum yang bersifat
`amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Definisi yang diketengahkan Abu
Zahrah ini lebih menekankan pada subyekny adalah seorang faqih dan lebih
spesifik dari penjelasan sebelumnya yaitu pada hokum-hukum yang bersifat
`amaliah(praktis).
4.Definisi yang diketengahkan oleh Abdul Whab Kholaf ;
بذل المجتهد
للوصول الى الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من الادلة الشرعية
Artnya; mencurahkan segala kemampuan untuk sampai
kepada hukum Syara`[4]
Defini yang diketengahkan oleh Abdul
Wahab Kholaf ini hanya menekankan pada upaya secara optilal untuk sampai kepada
hokum Syara` dari dalil yang terperinci.
5.Definisi yang diketengahkan oleh al-Amidi ,sebagai
berikut ;
استفراغ الوسع في طلب الظني شيء من الاحكام الشرعية على
وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه
Artinya; mencurahkan segala
kemampuan dalam mencari hukum Syara`yang bersifat dzanni , sehingga dirinya
tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.
Definisi yang diketengahkan al-Amidi
mengdentifikasikan bahwa objek ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat
dzanni, sehingga hasilnyapun tidak mutlak benar.
Dari definisi-definisi yang
diketengahkan oleh para ulama ahli Ushul Fiqih diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ijtihad adalah upaya optimal seorang faqih untuk menyatakan suatu hukum
yang bersifat amaliah/praktis dari dalil-dalil Syara`yang terperinci pada
masalah-masalah yang belum ada nash-nashnya yang dijelaskan secara eksplisit
dalam al-Qur`an dan nash-nash yang bersifat dzanni.
Dari pengertian ijtihad diatas mengandung unsur-unsur
sebagai berikut;
1)
Upaaya optimal oleh seorang mujtahid/faqih
Ijtihad tidak akan mungkin terlaksana tanpa adanya
upaya yang sunggu-sungguh dan optimal seorang yang akan berijtihad dan dituntut
untuk menguasai berbagai disiplin ilmu yang diperlukan oleh karena itulah imam
al-Ghozali dalam definisinya menyebut kata” al-mujtahid”
2)
Objek-objeknya
Dari pengertian diatas objek ijtihad adalah pada
hukum-hukum yang bersifat amaliah/praktis, yaitu dalam bidang fiqih saja, oleh
karena itu masalah-masalah selain fiqih seperti aqidah tidak termasuk objek
ijtihad .hal ini menunjukan bahwa ijtihad yang dilakukan ulama Ushul Fiqih
bukan ijtihad yang bersifat holistik.
3)
ANilai kebenarannya adalah dzanni
Kebenaran yang dihasilkan ijtihad tidak bersifat
mutlak, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan produk yang dihasilkan oleh
akal terdapat adanya kesalahan. Disini dapat di ketahui bahwa Nabi Muhammad
SAW.sebenarnya bukan seorang mujtahid, sebab apa yang diketengahkan Nabi
Muhammad SAW.nilai kebenarannya adalah mutlak.
Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah
(a) mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b) Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain.
(a) mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b) Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain.
Adapun ijtihad secara istilah cukup beragam dikemukakan oleh ulama
usul fiqh. Namun secara umum adalah:
عَمَلِيَّةُ
اسْتِنْبَاطِ اْلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
فيِ الشَّرِيْعَةِ
Artinya : “Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum
syara’ dari dalil terperinci dalam syariat”
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqaha yang menegaskan bahwa ijtihad dilakukan di bidang fiqih.
Dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “Pada
waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a.” dan hadits lain yang artinya
“Rasulullah SAW bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan.”
Ibrahim Husein
mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata
nabath (air yang mula-mula
memancar dari sumber yang digali). Oleh
karena itu menurut bahasa arti istinbath
sebagai muradif dari ijtihad yaitu
“mengeluarkan sesuatu dari persembunyian”.[1][1]
Menurut mayoritas ulama
Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal)
seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syari’at.[2][2]
Dari definisi diatas
dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad
adalah :
1. Pelaku ijtihad adalah
seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh
ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah)
yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3. Hukum syar’i yang
dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni
pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi mengandung kemungkinan salah.
Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut.
Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah, seperti pada :
a. Hadits ahad :
dikategorikan dalil dhanniyu al-subut,
mujtahid sebelum menyimpulkan hukum lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan
segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar hukum.
b. Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud
kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain (ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf
menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap kesanggupan untuk
mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi
al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi pengertian
:
1. Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki
nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa penafsiran
berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.
2. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali
(furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah kulliyah.
3. Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang
masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang
disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.[3][3]
.Objek Ijtihad .
Hal-hal yang dapat dijadikan obyek
ijtihad bagi para mujtahid dapat dikelompokan menjadi dua macam;
1) Hal yang memang nashnya sudah ada.
Dalam hal ini, y`ng menjadi objeknya
terbatas pada sekedar nash dan mujtahid tidak boleh melampaui batas-batas yang
membuat munculnya beberapa kemungkinan dalam dilalah (pengertian)yang telah
ditunjuk oleh nash itu sendiri. Hal ini dapat dilihat adanya nash yang
keadaanya sebagai berikut;
a).Keadaan nash itu berupa al-Qur`an
atau Hadist mutawatir.Jika kedudukan nya bersifat dzanni dan dilalahnya
bersifat qath`iy, maka obyek ijtihad para mujtahid adalah melakukan penelitian
hukum yang hanya pada sisi dilalahnya (pengertian), dalam artian:kedudukan yang
terkandung didalamnya.
b).Keadaan nash berupa Hadist. Jika
demikian maka yang perlu dilihat adalah:
1.jika kedudukannya bersifat dzanni
dan dilalahnya bersifat qath`iy maka obyek ijtihad hanya terbatas pada
penelitian terhadap: keshahihan sanad hadist dan hal-hal yang beerhubungan
dengan matannya.
2.Jika kedudukan dan dilalahnya
sama-sama bersifat dzanni,maka objek para mujtahid terbatas pada hal-hal yang
masih ada hubunganya dengan keadan nash, sekalipun dilalahnya menunjukan adanya
beberapa alternatif.
3) Hal- hal yang memang nashnya
benar-benar tidak ditemukan, bahkan tidak ada sama sekali.
Jika demikian, para mujtahid babas
dan tidak terikat,sehingga untuk menemukan dan menentukan hukum ,diberikan
suatu kebebasan kebebasan untuk mengadakan penelitian dengan menggunakan
berbagai macam bentuk metode ,seperti: qiyas, maslahah mursalah, istihsan,
urf dan sebagainya.
Keadaan kedua yang tanpa adanya nash
inilah, hasil para mujtahid yang berbeda-beda , sesuai dengan pandangandan
metode pengambilan hukum yang dipakai, tetapi tidak perlu diperdebatkan yang
sampai dapat melemahkan Syari`ah Islam sendiri, sebab dengan cara ini, dapat
dijadikan sebagai bukti akan adanya sifat kelestarian dan fleksibilitas Syari`ah
Islam itu sendiri.
Peranan Ijtihad
Berdasarkan
pengertian ijtihad itu sendiri kita sudah bisa menerka maksud dari
ijtihad itu. Di atas telah dijelaskan bahwa ijtihad itu digunakan pada suatu
hukum/ dalil yang belum jelas. Oleh karena itu Ijtihad mempunyai peranan yang
penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di
dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang
Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari
sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan
akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru
alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat
manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Menurut imam
syafi’i ra. (150-204) dalam kitabnya Ar-Risalah, menegaskan: “maka tidak
terjadi suatu peristiwa pun pada seseorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam
kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurut beliau hukum-hukum
yang dikandung Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus
dagali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan
hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk
melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah mrnguji ketaatan hambanya dalam
hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan
imam syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad
disamping Al-Quran dan hadis. Ijtihad juga berperan dalam menguji kebenaran
riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir, seperti hadis ahad,
atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad. Dan juga berperan dalam mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan
maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan
prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan
itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
Ijtihad adalah nafasnya hukum Islam. Oleh karena itu,
jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum Islam pun terhenti
perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis,
produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakat.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum
lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang zhanni, baik di lihat
dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut
wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena
temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid
dalam hukum Islam.
Dari
penjelasan di atas Peranan Ijtihad secara garis besar adalah sebagai
berikut :
1. Dalam
menjelaskan/memahami Ayat-ayat mutasyabihat.
2. Dalam
memahami/menjelaskan yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir.
3. Untuk
menentukan hukum yang belum jelas/ hukum sesuatu yang baru yang belum
dijelaskan oleh Al-Quran secara eksplisit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar