Halaman

Senin, 07 Januari 2013

TASAWUF


Sumber Pemikiran Kalam

Pemikiran Islam adalah suatu upaya ijtihadi seseorang atau sekelompok orang untuk menerjemahkan nilai-nilai universalitas Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan situasi zamannya.
  1. Pengertian dan Asal-Usul Ilmu Kalam
Secara Harfiyah, kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Di dalam lapangan pemikiran Islam, istilah kalam memiliki dua pengertian : pertama, Sabda Allah, dan kedua ‘Ilm al-kalam. Pengertian yang kedua ini lebih menunjukkan kepada teologi dogmatic dalam Islam, dan sekaligus merupakan inti pembahasan dalam tulisan sekarang ini.
Perkataan “kalam” sebenarnya merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi, khususnya bagi kaum muslimin. Secara harfiyah, perkataan kalam dapat ditemukan baik dalam Al-Qur’an maupum berbagai sumber lain.
      Para Ahli sering menggunakan ilmu kalam dengan istilah teologi islam. Istilah ini berasal dari sebutan orang-orang Barat untuk menyebut istrilah ilmu kalm dan perbedaannya dengan filsafat islam.
      Teologi berasal dari Yunani, yakni “theos” artinya Tuhan, dan “logos” artinya ilmu. Dengan demikian, teologi berarti ilmu tentang tuhanatau ilmu ketuhanan.
Misalnya : dalam kitab Jurmiyah, yang artinya “Kata-kata yang tersusun dengan sengaja untuk menunjukkan suatu maksud atau pengertian.”
Dalam Al-Qur’an, yakni :
1.      An-Nisa ayat 164, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung”
2.      Al-Baqarah ayat 75, “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar kalam Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
3.      At-taubah ayat 6, “Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah. Kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”
Sebutan itu (kalam), juga dipertegas oleh Nurcholis Majid, yang mengutip Ali Asy-Syabi bahwa antara istilah mantiq dan kalam secara histories ada hubungan. Keduanya memiliki kesamaan, lalu para Mutakalimin dan filsof mengganti istilah mantiq dengan kalam, karena keduanya memiliki makna yang sama.
Dari pengertian tersebut diperoleh gambaran bahwa ilmu kalam tiada lain adalah perdebatan teologis di antara umat Islam yang didasarkan atyas argumen logis-rasional, terutama dalam kalam ilahi yang dihubungkan dengan persoalan manusia seperti baik dan buruk, kebebasan berkehendak.
  Dengan mengutip Asyahrastani, Ali Asy-Syahbi mengatakan bahwa istilah kalam mula-mula muncul pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (813-833 M) dari daulah Abbasiyah dan diciptakan oleh kaum Mu’tazilah., Alasan utama penggunaan istilah kalam ini, boleh jadi karena masalah yang menonjol mereka perdebatkan yaitu tentang bicara sebagai salah satu sifat tuhan.[1][5]
Sering kali ilmu kalam dihubungkan dengan ilmu tauhid. Berkenaan dengan ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa keduanya tidak identik. Sekalipun secara substansial atau materi yang dibicarakannya adalah sama, tetapi dalam metode berbeda. Karena adanya pergesaran metode ini, nama ilmu kalam menjadi lebih popular. Metode ilmu kalam yang dimaksud, sebagaimana telah dikemikakan di atas adalah metode nasional yang di ambil dari logika filsafat. Atau menurut istilah Fazlur Rahman, metode yang dikembangkan Mutakallimin yaitu teologi dialektis.[1][6]
Berdasarkan asal-usul dan pengertian ilmu kalam sebagaiman yang tersebut di atas, dapat disimpulkan:
1.      Masalah perselisihan yang paling diperdebatkan antar golongan islam adalah masalah-masalah teologis, terutama menyangkut firman Allah
2.      Dasar ilmu kalam adalah dalil-dalil aqli sebagaimana yang tampak pada pembicaraan mutakallimin.
3.      Pembuktian tentang keyakinan-keyakinan agama menyerupai logika dalam filsafat. Oleh karena itu, penamaan ilmu kalam adalah untuk membedakan dengan logika dalam filsafat.
  1. Pemikiran Kalam Klasik
1.      Aliran Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti ‘keluar’, ditujukan bagi setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin maupun masa tabi’in secara baik-baik
2.      Aliran Mu’tazilah
Mu`tazilah sebagai aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri, yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dan dasar pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
3.      Aliran Asy’ariyah
Tokoh aliran ini Abu Hasan Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 M dan wafat tahun 935 M. Pada mulanya Al-Asy’ari adalah murid Al-Jubba’i salah seorang tokoh terkemuka aliran mu’tazilah.
Walaupun Al-Asy’ari telah berpuluhan tahun menganut paham mu’tazilah akhirnya ia meninggalkan aliran mu’tazilah dengan alasan:
a.             Al-asy’ari bermimpi, dalam mimpinya itu Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadits-lah yang benar, dan mazhab mu’tazilah salah.
b.            Al-Asy’ari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i, dan dalam perdebatannya itu Al-Jubba’i tak dapat menjawab tantangan Al-Asy’ari sebagai muridnya.
4.      Aliran Salafiyah
Aliran ini muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Ahmad bin Hambalyang kemudian pemikirannyadiformulasikan secara lebih lengkap oleh Ahmad Ibn Taymiyah.
5.         Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari bahasa arab yang berarti menunda atau dari kata raja’a yang berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut di atas, berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang pertama dimaksudkan berarti golongan atau paham yang menanggungkan keputusan sesuatu hal (mulanya persoalan yang berbuat dosa besar) nanti dikelak kemudian hari disisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalan adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mati sebelum bertobat).
6.         Aliran Syi’ah
Akar kata Syi’ah bermakna pihak, puak dan kelompok, yang diambil dari kata Syayya’a yang memiliki arti berpihak. Aliran ini menunjukkan pengikut Ali dalam hubungannya dengan peristiwa pergantian kekhalifahan setelah Rasulullah wafat.
Macam-macam Aliran Tasawuf
Orang yang pertama memberikan perhatian kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam tasawuf Islam itu adalah Fakhruddin Al Razi.
Secara garis besar, alam pemikiran tasawuf dalam Islam telah melahirkan tujuh aliran besar. Ketujuh aliran itu adalah :
1.    Aliran Ittihad
Zun Nun Almisry (245 H) adalah sufi yang pertama kalinya mengemukakan faham ma`rifah dalam tasawuf dan dalam perkembangannya. Menurut Zun Nun, bahwa ma`rifah yang hakiki adalah ma`rifah sifat wahdaniyyah yang bagi wali-wali Allah secara khusus karena mereka menyaksikan Allah dengan hati mereka, maka terbukalah bagi mereka apa-apa yang tidak terbuka bagi orang lainnya.[1]
Apa yang telah dirintis oleh Zun Nun itu dikembangkan lebih jauh oleh Abu Yazid Thaifur bin Isa Al Bistami (261 H). Abu Yazidlah orang pertama sekali secara terbuka mengemukakan ajran ittihad. Ittihad adalah kepercayaan bahwa khaliq (Allah) dapat bersatu dengan makhluk (manusia). Yakni hubungan yang terjadi antara zat makhluk dengan khaliq. Apabila terjadi hal ini maka makhluk akan berada dalam keadaan tak sadr diri, yang mereka namakan mahwu.[2]
2.    Aliran Hulul
Al-Hulul adalah kepercayaan bahwa Allah bersemayam di tubuh salah seorang, yang kiranya bersedia untuk itu, karena kemurnian jiwanya dan kesucian ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut akidah dan kepercayaan ini ialah Al-Hallaj.
Ajaran-ajaran Al-Hallaj tentang tasawuf tergambar dalam buah fikiran yang terpisah-pisah dan di dalam teori yang bersifat ekstrim. Menurut Abul Qasim Al Razi, Al Hallaj pernah menulis sebuah surat yang berbunyi : “ Dari yang maha pengasih lagi maha penyayang kepada fulan bin fulan”. Tatkala ditanya orang mengapa dia menulis dengan kata-kata tersebut, dia memeberikan jawban bahwa” Penulis itu hanya Allah sedang aku dan tanganku hanyalah alat belaka”.[3]
3.    Aliran Ittishal
Aliran tasawuf Ittishal dikemukakan oleh para filsuf Islam terutama Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan Ibnu Tufail.
Abu Nasr Muhammad Al-Farabi di dalam mengemukakan konsepsinya tentang tasawuf, tidak terlepas dari keahliannya sebagi filsuf. Tasawuf menurut Al-Farabi, bukan hanya membahas masalah amal untuk kebersihan jiwa, memerangi hawa nafsu, dan kelezatan badaniyah saja, tetapi juga harus melalui akal dan pemikiran itu sendiri.
Al-Farbi memandang tingkat ma`rifah manusia dalam tasawuf adalah berjenjang naik dan apabila manusia telah berada diatas jenjang Al-Aqlul Mustafad maka manusia mampu menerima nur ketuhanan, berhubungan langsung dengan Al-Aqlul Fa`al.di tingkat ini manusia tidak lagi berda dalam tingkat ijtihad tetapi telah berda dalam tingkat pemberian Tuhan hingga dapat berhubungan langsung dengan Tuhan(Ittishal).
Al-Farabi mengemukakan bahwa sentral segal sesuatu adalah akal, maka dalam tasawufnya ia berpendapat bahwa tujuan tasawuf terkhir adalah pencapaian sa`dah yang tertinggi dalam wujud kesempurnaan ittishal dengan Al Aqlu Fa`al.
Perkembangan akal dan peningkatannya tidak bisa lepas dari perkembangan jiwa, peningkatan dan pembersihannya.[4]


4.    Aliran Isyraq
Tokoh aliran Isyraq adalah Syihabuddin Yahya bin Hafash Suhraward. Sejak kecil ia telah belajar agamadan menghafal Al-Qur`an kemudian belajar di Maraghah berguru dengan Imam Mahyuddin Al Jilli, dilanjutkan dengan belajar kepada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan diteruskan dengan belajar kepada Al Mardini.
Suhrawardi meninggal dunia karena hukum bunuh yang dilaksanakan oleh Az-Zahir atas perintah Al-Ayyubi pada tahun 587 H/1191 M pada usia 83 tahun. Sebab jatuhnya hukuman bunuh itu karena penafsiran Suhrawardi terhadap berbagai hal tentang ketuhanan, kenabian dan sebagainya yang dianggap berbahaya kepada akidah kaum muslimin.
Suhrawardi mendasarkan teori filsafatnya kepada Isyraq. Kata Isyraq berasal dari bahasa Arab yang berarti timur. Secara etimologi mengandung maksud terbitnya matahari dengan sinar yang terang.
5.    Aliran Ahlul Malamah
Aliran Ahlul Malamah lahir di Nishapor pada bagian kedua abad ketiga hijriyah. Kata Al Malamah berasal dari kata laum yang artinya celaan. Ahlul Malamah adal sekumpulan orang yang mencela dan merendahkan diri mereka karena itulah tempat kesalahan-kesalahan.[5]
Ajaran kaum malamatiyah ini pada dasarnya ialah mencela diri sendiri, merendahkan dan menghinakannya didepan orang untuk melindungi keikhlasan dan kedekatan dirinya dengan Tuhan, menjaga kemurnian ketulusan dan menjauhkan diri dari kesombongan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain, Hamdun Al Qassar (m.271 H), Abu Utsman Al Hairi (m.289 H), Mahfudz Al Naisaburi (m.303 H), Abul Husein Al Warraq ( m.320 H), Abu Umar Al Zujaji (m.348 H), Abul Husein bin Bandar (m.350 H), Abul Hasan bin Sahal Al Busyanji (m.348 H), Abi Ya`kub Al Nahrajuri (m.330 H), dan Muhammad bin Ahmad Al Farra` (m.370 H). Aliran ini banyak memiliki ajaran-ajaran yang bersifat ekstrem dan bertendensi negative dalam kehidupan. Oleh karena itu, aliran ini tidak banyak mendapat pengikut dan tidak bertahan lama dalam sejarah pemikiran Islam.
6.    Aliran Wahdatul Wujud
Pemimpin aliran Wahdatul Wujud adalah filsuf dan sufi yang bernama Ibnu Arabi dari Andalusia. Beliau   dilahirkan  tahun 598 H / 1102 M dan meninggal pada tahun 638 H/1240 M.
Menurut Dr. Abdul `Ala Afifi, tidak ditemui seorang tokoh aliran Wahdatul Wujud dalam Islam yang memiliki ajaran sempurna sistematis terkecuali Ibnu Arabi. Dialah peletak dasar dan Pembina ajaran-ajaran Wahdatul Wujud hingga berdiri sebagai suatu aliran.
Menurut Ibnu Arabi, adanya alam semesta ini tidak bias dipisahkan dengan sejarah Nabi Adam sendiri.[6]
Wahdatul Wujud adalah kepercayaan bahwa yang maujud (ada) itu hanyalah satu, tidak dapat diduakan. Dengan kata lain, tak ada yang maujud(ada) kecuali Allah SWT.[7]
7.    Aliran Ahlus Sunnah
Perkembangan tasawuf aliran Ahlus Sunnah dimulai dengan perkembangan teologi yaitu pembahasan di sekitar aqidah dan tampak menonjol dalam pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Abdullah bin Said Al Kulaby (240 H) dan kemudian berlanjut lebih jelas dalam perkembangan tasawuf di dalam konsepsi yang dikemukakan oleh Al Haris Al Muhasiby (243 H) sebagai seorang ahli kalam dan sufi.
Di bidang teologi tampil Imam Asy`ari (324 H) dan Imam Maturidi (333 H) dengan konsepsi yang sistematis hingga melahirkan daoktrin Ahlus Sunnah Wal Jma`ah.
Di bidang tasawuf, penyempurnaan apa yang telah dikemukakan oleh Al Haris Al Muhasiby dilanjutkan oleh sufi besar Junaid Al Baghdady (297 H) dengan meletakkan dasar-dasar yang kuat, dan kemudian disempurnakan secara sistematis oleh Hujjatul Islam Imam Al Ghazali (505 H) hingga terwujud doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.
Ajaran tasawuf Ahlus Sunnah Wal Jama`ah adalah bersumber dari mereka yang di dalam hidup dan berfikir didasarkan kepada Al-Qur`an dan Sunnah dengan mengambil pelajaran dari ilmu para Nabi dan Rasul dengan mengikuti secara teratur jejak langkah mereka di dalam menghambakan diri, melakukan jihadun nafs, menegakkan akhlak yang utama dengan tingkah laku dan perbuatan yang terpuji di sisi Allah, bening hati dan bersih dalam kehidupan, dan sabar dalam mengatasi berbagai halangan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka adalah para sahabat Rasulullah SAW seperti haritsah, Bara`ah bin Malik, Abu Israil, Huzaifah, Abi Darda`, Abu Zar, `Ukasah, Abdullah bin Umar, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Suhaib, Abu Rafi`I, Bilal Habab dan lain-lain. Dari tabi`in antara lain : Ali bin Husein ( Zainul `Abidin), Muhammad Al Bakir, Ja`far As Shadiq, Uwais Al Qarni, Ibnu Huzaim, Salmah, Hasan Al Basri dan lain-lain.[8] 

Aliran Dalam Filasafat Islam
1.        Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya
ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah menggunakan logika formal yang
berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang
kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni:
Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn
Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2. Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran,
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat
yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini
terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya
sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas
cahaya.
3. Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman
mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional
bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada
hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya
Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau
yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang
berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.

2 komentar: